Mohon tunggu...
Lardianto Budhi
Lardianto Budhi Mohon Tunggu... Guru - Menulis itu Membahagiakan

Guru yang suka menulis,buat film,dan bermain gamelan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Ngakunya Berpendidikan Tinggi, Kok Ternyata Dungu

21 April 2019   08:33 Diperbarui: 21 April 2019   08:53 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

NGAKUNYA BERPENDIDIKAN TINGGI, KOK TERNYATA DUNGU

Sebenarnya, saya sudah malas ikut-ikutan nimbrung tentang pilpres dan pileg kemarin. Bukan karena saya apatis atau skeptis atau frustasi dengan hasilnya. Bukan pula karena saya over confident karena pilihan saya sudah pasti menang. Bukan, bukan karena itu semua, tapi karena saya merasa polemik seputar pilpres dan pileg kemarin menurut saya telah menggiring orang kepada ketidakwarasan logika dan ketidakpantasan dalam pola berdemokrasi.

Sejak awal pemilu telah gegap gempita dikonstruksi, paling tidak diupayakan, agar seolah-olah merupakan sebuah peperangan yang hitam-putih antara yang alim versus 'bekasakan', terdidik versus uneducated, nasionalis versus sekuler, pejuang tanah air versus 'penggarong' rakyat, "malaikat" versus "iblis", dan sejumlah kontradiksi dikotomis yang sifatnya ekstrem.

Saya menangkap,  masyarakat diajak menyambut pemilu dengan membawa bara kebencian didalam mereka punya dada dan dengan semangat untuk saling merasa paling benar sendiri.

Puncaknya, ketika pemilu selesai dihelat, aroma persengketaan pagi-pagi sudah nyaring terdengar. Semua fihak merasa unggul, dan tak ada yang merasa kalah. Bahkan telah ada paslon capres-cawapres yang melakukan sujud syukur karena merasa telah memenangi pilpres. Hasil quick count yang merupakan proses berdasarkan disiplin kerja ilmiah dinafikan bahkan dituduh telah "melacur" dengan cara melakukan penggiringan opini publik untuk memenangkan lawannya.

Sengketa hasil pilpres ditingkat Nasional itu mau tidak mau berimbas terhadap sikap para pendukung ditingkat bawah.

Pada suatu sore, saya disodori kabar dari seorang teman tentang sebuah komentar yang bernada melecehkan dari sebuah akun media sosial. Akun itu mengomentari kemenangan mutlak salah satu paslon disuatu kabupaten diwilayah paling timur dari propinsi Jawa Tengah. 

"Aq tuh faham, Wonogiri ki ndeso...pendidikan rendah, makanya banyak cebong..". Demikian komentar akun itu.

Berdasarkan perhitungan sementara hasil pilpres dan pileg kemarin, 80% lebih hak pilih di Wonogiri memilih paslon 01 untuk capres dan PDI Perjuangan untuk partai politik, artinya Jokowi-Ma'ruf dan PDI Perjuangan menang mutlak di Wonogiri.

Bila pilihan rakyat Wonogiri itu kemudian direndahkan dan dipandang sebagai hasil dari pilihan orang-orang tak berpendidikan, sungguh menurut saya, ini adalah penghinaan yang mencederai kemanusiaan. Kita tahu, istilah 'Cebong' dan 'Kampret' telah terdengar sejak jauh hari menjelang pilpres untuk menunjuk pada pendukung kedua pasang capres. 'Cebong ' untuk pendukung 01 dan 'Kampret' untuk pendukung 02.


Kalimat bernada penghinaan diatas kurang lebih bisa disimpulkan begini : "rakyat Wonogiri itu ndeso yang tak berpendidikan sehingga bodoh, makanya banyak yang milih pasangan 01".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun