Mohon tunggu...
Lardianto Budhi
Lardianto Budhi Mohon Tunggu... Guru - Menulis itu Membahagiakan

Guru yang suka menulis,buat film,dan bermain gamelan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Siapa Ibu Kita?

21 April 2018   16:59 Diperbarui: 21 April 2018   17:17 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kartini dikenang karena perjuangannya untuk memperoleh kesempatan pendidikan bagi kaum perempuan. Ada banyak perempuan-perempuan hebat dalam lembar-lembar sejarah Nusantara,tapi Kartini-lah yang dipilih sebagai ikon "perempuan" Indonesia.

Terus terang saya tidak mampu mengelaborasi faktor-faktor apa dan pertimbangan apa yang diperhitungkan sehingga pilihan  "putri sejati"  yang "besar cita-citanya bagi Indonesia" jatuh pada Kartini.

Ini bukan semacam gugatan terhadap eksistensi Kartini, namun sekedar ekspresi ketidaktahuan saya semata. Nyi Ageng Serang, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika dan banyak perempuan hebat yang dicatat oleh tinta emas sejarah perjalanan bangsa kita. Sejak dulu kala, rahim Nusantara tak pernah lelah melahirkan anak-anak masa depan dengan kualitas kesaktian yang beraneka rupa.

Kartini, terlepas dari "nasib buruk" yang dihadapinya sebagai perempuan, mampu mendidik dirinya agar tak membeku dikubangan madu  perumahtanggaan. Ia menyusun tangga  untuk para generasi perempuan Nusantara setelahnya agar bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan kaum lelaki.

"Habis Gelap Terbitlah Terang" tak boleh menjadi monumen usang yang ringkih dihadapan realitas perempuan Indonesia. Merupakan suatu ironi jika ia tinggal hidup sebagai bahan hafalan tanpa beranjak dari buku teks pelajaran atau lembar-lembar seminar dikantor, hotel-hotel maupun sebatas wacana diskusi dimeja-meja orang pintar.

Perempuanlah akhirnya pembawa obor peradaban yang akan membawa generasi kini menemukan jalan terang masa depan. Perempuan yang sadar keberadaannya sebagai per-empu-an, yaitu sebagai induk semang dari anak-anak sejarah, pastilah akan terus menerus membangun dirinya agar tak hanya jadi bahan pajangan hedonisme, atau obyek olok-olok direlung-relung sepi pada lipatan jaman yang kian buram.

@Tawangmangu,21042018.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun