Mohon tunggu...
SPC SAVAL
SPC SAVAL Mohon Tunggu... Jurnalis - School Pers Center

School Pers Center SMAN 1 Padalarang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ayah, Seorang Pengekang atau Panutan

28 Februari 2019   20:29 Diperbarui: 28 Februari 2019   20:44 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika kamu mendengar kata "Ayah" apa yang pertama kali terlintas dipikiranmu ? Sebagian orang mungkin ada yang berfikir tentang sesosok pribadi yang kuat, gagah, tangguh, tegas, bijaksana, pelindung, dan panutan. Namun, sebagian orang lagi mungkin berfikir bahwa ayah itu adalah sesosok yang cuek, keras, mengekang, memberikan banyak aturan atau larangan, dan sebagainya. 

Lalu, sebenarnya seperti apa sosok ayah itu? Setiap orang bebas menyimpulkan atau menyampaikan isi pikirannya, tidak ada yang salah, hanya saja itu bergantung dari sudut mana ia melihat. Apakah dia melihat dari sisi positifnya atau sisi negatifnya. 

Satu hal yang pasti, ayah itu seorang pemimpin keluarga kita, pribadi yang dekat dengan kita, suka tidak suka, bahagia atau tidak, senang atau tidak, itu adalah sesuatu hal yang harus kita terima dan syukuri.

Seorang pesepakbola terkenal asal Portugal pernah menceritakan bagaimana ia melihat sosok ayah itu. Ayahnya adalah seorang pemabuk berat, kerjaannya tiap hari adalah pergi ke bar dan mabuk-mabukan. Suatu hari, dia berkata kepada ayahnya bahwa suatu hari ia akan menjadi orang kaya, namun ayahnya berkata semua itu hanyalah mimpi. 

Bukan tanpa sebab ayahnya berkata seperti itu, karena memang pada saat itu mereka sangat miskin. Dan pada akhirnya, dia berhasil, dia menjadi orang kaya, punya rumah mewah, mobil mewah, dan semua impiannya telah terwujud. Tetapi ada satu hal yang ia sesali, "aku berhasil meraih semuanya, tapi dia (ayah) telah pergi",ucapnya. Satu hal yang menjadi penyesalannya adalah ketika dia sudah mendapatkan semuanya, dia harus kehilangan ayahnya. Dan itu menjadi penyesalan seumur hidupnya.

Lalu pertanyaan selanjutnya bagi kita adalah bagaimana cara kita melihat ayah itu ? Apakah kita mau lihat keburukannya atau kebaikannya? Seburuk-buruknya seorang ayah, adakah seorang ayah yang memberi batu kepada anaknya, ketika ia meminta roti, atau memberi ular, ketika ia meminta ikan? Sejahat-jahatnya orang tua kita, pastilah ia tidak ingin anaknya menjadi jahat juga, sebisa mungkin ia menjauhkan kita dari kesalahan atau keburukannya. 

Namun, yang kita lihat adalah apa yang mereka lakukan, kita tidak pernah mencoba untuk melihat mengapa ia melakukan ini kepada kita . Contohnya ketika kita diberi larangan untuk keluar malam, respon kita mungkin adalah marah, mempersalakannya, membanding-bandingkan diri kita dengannya, padahal di balik itu mungkin maksud orang tua kita melarang kita adalah supaya kita tidak melakukan kesalahan seperti dirinya, tidak menjadi buruk seperti dirinya. Tetapi kita seringkali kita tidak bisa melihat itu, dan menjadi dikendalikan oleh emosi kita.

Jadi, sebenarnya apa yang harus kita lakukan? Yang harus kita lakukan hanyalah satu, ubah pandangan kita, sudut pandang kita, cobalah melihat dari sisi positifnya, jangan selalu melihatnya dari keburukannya, tetapi cobalah liat apa yang membuatnya menjadi seperti itu, dan cobalah sekali-kali menurutinya dan mendengarkannya, dan setelah itu... buatlah relasi dengan ayahmu.

Ditulis oleh : Jonathan Rovel Sitorus

Kelas XII MIPA 5,SMAN 1 PADALARANG

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun