Mohon tunggu...
Harry Puguh
Harry Puguh Mohon Tunggu... Administrasi - Sustainability Profesional

Saya bekerja di lembaga swadaya masyarakat selama lebih dari 20 tahun dan sekarang bekerja dibidang sustainability

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Teror, Horor

31 Maret 2018   11:41 Diperbarui: 31 Maret 2018   12:19 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keluarga kami ditahun 90an awal sebagian besar adalah pengojek pangkalan, kebanyakan menjadi pekerjaan sampingan. Bapakku yang petani, selepas mengerjakan sawah dia menaiki motor CB bututnya untuk mencari penumpang. Sementara saudara-saudara lain yang buruh bangunan juga akan melakukan hal yang sama disore dan malam hari.

Udara yang menggigit dan menusuk tulang serta hujan yang hampir setiap sore turun di desa kami tidak menyurutkan mereka untuk mencari penumpang, karena dengan mengojeklah mereka dapat uang cash untuk uang saku anak-anak mereka untuk pergi ke sekolah.

Masih ingat juga pagi-pagi sekali emakku harus menyiapkan bubur sumsum dan tempe kemul untuk dijual buat sarapan tetangga.

Bagi kami hidup yang keras dan berat adalah makanan sehari-hari. Semua itu dilakukan untuk bisa menaiki tangga kelas sosial yang harus berkeringat darah harus kami naiki.

Malam itu saya ingat benar hujan zenit tebal dengan genitnya, seakan menari di cahaya lampu sorot yang aku pakai untuk membantu Pae memperbaiki lampu depan motornya.

Dia harus secepatnya memperbaikinya, karena malam semakin larut, sementara pelanggan sudah menunggu diantar ke desa sebelah yang berjarak empat kilo meter ke kaki Gunung Sindoro.

Setelah setengah jam berkutat dengan kabel-kabel usang dan berkarat, lampu itu akhirnya menyala dengan malasnya. Sampai saat ini saya tidak bisa membedakan lampu motor itu dengan lampu teplok berjelaga.

Setelah itu Pae ngegas motornya ke tetangga dan segera berangkat ke desa Banjarsari, desa itu semacam sekumpulan rumah tua berasap, karena mereka masih memakai bahan bakar kayu untuk memasak dan menghangatkan keluarga didalamnya.

Jalan macadam dan hutan bambu serta jenitri mendominasi kanan kiri jalan. Saat itu kami tidak bisa membedakan itu jalan manusia atau sungai kering dengan batu berserakan.

Sepi dan lengang saja selepas magrib ketika lewat jalan itu. Pae melewati jalan itu dengan hati-hati, karena kadang babi hutan atau ular welang mencoba memotong jalannya.

Suara kodok bancet dan jangkrik bersahut-sahutan merayakan hujan yang hampir reda. Malam itu purnama hampir penuh mencoba mengintip diantara kabut tipis setelah puas langit menumpahkan air kehidupannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun