Mohon tunggu...
ASTRID DEWI
ASTRID DEWI Mohon Tunggu... Editor - Penyuka traveling, yoga dan kucing

Saya jurnalis, cerpenis, seorang ibu, sekaligus traveller dengan biaya murah

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

BPJS oh BPJS

26 November 2015   22:30 Diperbarui: 26 November 2015   23:21 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pada suatu siang, sebut saja Warti, datang tergopoh-gopoh menghampiri saya. Wanita yang sehari-hari menjadi ibu rumah tangga, sementara suaminya hanya berprofesi sebagai tukang bangunan serabutan ini mengadu kepada saya. Sambil memarkirkan sepeda motor rodanya, Warti langsung nyerocos bertanya kepada saya,"Mbak, BPJS itu apa ta? Saya sekeluarga dioyak-oyak Pak RT disuruh ikut BPJS. Katanya iurannya murah, hanya Rp50.000 per bulan! Kenapa saya harus ikut BPJS, kan saya bukan karyawan seperti sampeyan!"

Ya, selama ini masih banyak warga Indonesia yang tak mengetahui BPJS kesehatan bukan hanya diperuntukan bagi pekerja. Sesuai UU BPJS, semua warga Indonesia harus ikut BPJS (entah itu Anda hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga atau buruh cuci serabutan, pokoknya semua harus ikut). Kalau tidak ikut, apakah ada konsekuensinya? Ada, jangan salah. Kalau Anda tak punya kartu kepsertaan BPJS kesehatan Anda tak akan mendapatkan sejumlah pelayanan publik antara lain KTP, SIM, hingga paspor. Jadi, bukan hanya pemberi kerja yang kena sanksi jika tak ikut BPJS, melainkan kita yang warga biasa ini juga bisa kena sanksi.

BPJS kesehatan menurut versi pemerintah diusung dengan visi mulia yaitu memberikan subsidi silang bagi rakyat miskin. Tapi benarkah seperti itu? Yah mungkin di atas kertas seperti itu, tapi pada praktiknya sebetulnya banyak ketidakadilan di sini, terutama jika dlilihat dari sisi konsumen/nasabah asuranasi. Mari kita cermati satu persatu :

1. BPJS merupakan bentuk monopoly by law oleh pemerintah

Dengan membuat UU, pemerintah memaksa kita semua untuk ikut BPJS. Bagi perusahaan atau pemberi kerja, hal ini jelas terasa tidak adil dan memberatkan. Kenapa? Karena pemerintah mengharuskan pemberi kerja/perusahaan untuk memilih BPJS sebagai asuransi kesehatan. Pemerintah tak memberi kebebasan bagi pemberi kerja untuk memilih produk asuransi kesehatan yang kualitas pelayanan maupun benefitnya jauh lebih baik dibandingkan BPJS. Mungkin ada yang berpendapat, oh silakan aja ikut BPJS dan satu asuransi swasta. Tapi itu sama aja dengan pemborosan, biaya tinggi bagi perusahaan/pengusaha/pemberi kerja. Apalagi di masa perekonomian sedang lesu seperti sekarang ini, tentu perusahaan/pengusaha/pemberi kerja harus memeras otak agar mampu bertahan, salah satunya dengan mengurangi pengeluaran-pengeluaran yang dianggap tak perlu. Jadi buat apa ikut asuransi dobel jika salah satu tak bisa digunakan? Masalahnya, kalau perusahaan/pemberi kerja/penguasaha memilih BPJS (karena wajib ikut kan), benefit yang diterima tidak sesuai dengan premi yang dibayarkan. BPJS tidak sefleksibel asuransi swasta. Ngurusnya rumit. Harus ngantri lama. BEda banget dengan kualitas pelayanan yang diberikan asuransi swasta. Saya pernah merasakan memakai fasilitas asuransi swasta dari kantor, ketika hendak melahirkan dan operasi caesar, saya hanya memberikan kartu kepesertaan asuransi swasta itu ke bagian pendaftaran di rumah sakit swasta tanpa harus ngurus ini itu, tanpa harus ngantri lama, saya bisa langsung masuk, langsung dapat kamar, dan setelah perawatan selesai saya tak membayar sepeser pun. Hitung-hitungan dilakukan kantor dengan pengelola asuransi swasta.

Apa yang dilakukan pemerintah ini (memaksa semua memilih asuransi kesehatan bermerek BPJS) juga bentuk ketidakmauan pemerintah bersaing secara fair dengan perusahaan asuransi swasta yang ada di Indonesia. Dengan mewajibkan seperti itu, mau tak mau semua orang, semua pekerja, jadi nasabah BPJS. BPJS tak perlu repot-repot bersaing dengan perusahaan asuransi swasta dalam hal pelayanan, benefit yang diberikan, dsb. Di saat kita mendengung-dengungkan tentang persaingan usaha yang sehat, pemerintah justru memberikan contoh persaingan usaha yang tidak sehat.

Sepemahaman saya monopoly by law hanya bisa dilakukan untuk obyek-obyek yang bersifat vital dan menguasai hajat hidup orang banyak seperti tercantum dalam Pasal 33 UUD 45. Pertanyaannya apakah asuransi kesehatan itu merupakan obyek vital dan menguasai hajat hidup orang banyak?

 

2. BPJS menerapkan premi berbeda bagi nasabah perseorangan dan pekerja

Banyak yang tak tahu, BPJS menerapkan premi yang berbeda. Bagi peserta berstatus karyawan premi dibayarkan berdasarkan persentase gaji pokok, sementara peserta berstatus warga biasa besaran premi flat misal Rp50.000 per bulan.  Di sinilah letak ketidakadilan tersebut. Besaran premi yang ditanggung pemberi kerja dan pekerja akan naik terus setiap tahun mengikuti kenaikan gaji (biasanya gaji akan naik setiap tahun sekali pun hanya 10 persen). Padahal benefit dan kelas di rumah sakit sama, tidak ikut meningkat seiring kenaikan premi yang dibayarkan. Misalnya dia terdaftar di kelas 2, sekali pun dia menanggung premi yang semakin besar, dia tetap akan di kelas 2 (tidak secara otomatis ter-up grade naik ke kelas 1 atau VIP misalnya).

Sementara jika kita ikut asuransi swasta, semakin besar premi yang dibayar maka semakin besar pula benefit yang diperoleh. Selain itu, besaran premi yang dibayarkan nasabah adalah flat alias tetap setiap tahun. Misal di asuransi X pembagian kelas dibagi 3 yaitu bronze, gold, dan platinum. Bronze yang preminya paling murah yaitu Rp100.000, gold Rp200.000 dan platinum Rp300.000. Di sinilah letak ketidakadilan BPJS, BPJS melakukan pencurangan terhadap konsumen. Menerapkan premi yang terus naik, tapi benefit tidak ikut naik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun