Mohon tunggu...
Solihin Rusydi
Solihin Rusydi Mohon Tunggu... Petani - Terus mengalir

Mendengar, Melihat, Memperhatikan, Mentadabburi,

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Mungkinkah Ini Ramadan Terakhir?

7 Mei 2020   00:00 Diperbarui: 6 Mei 2020   23:57 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Hidup dan mati memang preogatif Allah Swt; sang penggenggam alam. Semua sudah ada ukurannya. Namun, menata hidup dan mempersiapkan seni menjemput kematian adalah pilihan. Yang banyak dilupakan manusia adalah semangat, sikap, dan planing menyambut kematian. Karena memang kebanyakan manusia lebih siap ‘bercerita’ tentang kehidupan dengan segala isinya, daripada kematian. Apakah tabu ketika manusia menumbuhkan ghirah (semangat) menghadapi kematian dalam setiap aktifitasnya? Tentu tidak, sebab, “evaluasilah dirimu sebelum kamu dievaluasi (mati)”, demikian sahabat Umar Ibnu Khatab mengingatkan.

Ramadhan tahun ini harus diakui sebagai ramadhan yang berbeda dari biasanya. Pandemi covid-19 yang menimba mayoritas negara di dunia tak terkecuali Indonesia menjadi salah satu pemicunya. Dampaknya adalah keterbatasan, terbatas dalam komunikasi, bersosial, dan juga beribadah. 

Bahkan perkembangan covid yang belum ada tanda-tanda ujungnya terkadang memunculkan pesimisme akan keberlangsungan hidup. Jangan-jangan ini adalah ramadhan terakhir saya. Seolah-olah pernyataan ini menggambarkan tentang perasaan seseorang akan kegelisahan dan ketakutan berpisah dengan sesuatu yang sangat dicintainya, dalam hal ini adalah ramadhan. 

Memang, istilah ‘kehilangan’ hanya akan terasa jika sesuatu yang menyebabkan kita menjadi kehilangan tiba-tiba hilang. Oleh karenanya, perasaan kehilangan hanya akan dirasakan oleh mereka yang di dalam hatinya ada benih cinta, karena cinta adalah kata kuncinya.

Aktifitas dalam ramadhan akan menjadi tolakukur, sejauh mana kecintaan diri terhadapnya, sebaliknya juga ketika ramadhan telah pergi. Senang dan bahagia dengan kedatanganya ataukah senang dan bahagia dengan kepergianya? 

Sedih dengan kedatanganya ataukah sedih dengan kepergianya? Atau menjadi kelompok yang ketiga, datang dan perginya ramadhan adalah momentum biasa dan lumrah dalam kehidupan, sehingga tidak perlu bersedih ataupun bahagia karena kedatangan atau kepergianya. 

“Maka, yang tak mencintai apa-apa tak akan pernah merasakan kehilangan apa-apa. Di sinilah masalahnya. Orang-orang yang merasa hopeles atau yang menjalani hidup ini dengan tanpa tambatan cinta, akan melewati segala perjumpaan dan perpisahan dengan tanpa makna apa-apa. Tak ada susah, tak ada pula senang”. (Majalah Tarbawi edisi ke-72).

Kemampuan memaksimalkan ramadhan sebagai bulan ta’abbud (menghamba) dan taqarrub (mendekat) kepada Allah Swt, rahasianya adalah dengan cinta. Namun, cinta saja tidak cukup. Sebab, terkadang ada tipikal manusia yang cintanya lahir dari paksaan, bukan karena adanya sesuatu yang membuatnya jatuh hati. Tipikal cinta karena paksaan inilah yang membutuhkan perawatan ekstra.

Merawat cinta terhadap ramadhan dapat dilakukan dengan cara memahami seluk-beluknya, sehingga mendapatkan pemahaman yang utuh tentang ramadhan. Memahami keutamaan, janji, apa saja yang dapat mengurangi keutamaan, serta tarhib (kabar bahagia) dan targhib (ancaman) ramadhan adalah sebagaian kecil jalan yang dapat dilakukan agar tumbuh cinta terhadapnya. Karena cinta inilah yang membuat orang-orang yang bertakwa takut berpisah dengannya.

Menanamkan dalam hati, bahwa ramadhan tahun ini adalah kesempatan terakhir kita berjumpa denganya menjadikan ‘amaliyah (aktivitas) di dalamnya akan lebih maksimal. Inipula yang dirasakan oleh Abu Bakar ash Shiddiq ketika rasulullah Saw menyampaikan nasihatnya, “Sesungguhnya ada seorang hamba yang diberi pilihan oleh Allah, antara diberi kemewahan dunia menurut kehendaknya ataukah yang ada di sisiNya. Ternyata hamba itu memilih apa yang ada di sisiNya”. (Majalalah Tarbawi edisi ke-72). 

Abu Bakar melihat isyarat bahwa rasulullah akan segera meninggal, karenanya ia menangis. Menangis bukan hanya karena akan ditinggal sahabat seperjuangan, menantu, dan teman dalam berdiskusi. Tapi, ia akan segera tinggal oleh orang yang sangat ia cintai melebihi cinta terhadap dirinya. Terbukti, karena cintanya, ia merelakan dirinya digigit ular dalam peristiwa hijrah. Karena cintanya pula, ia merelakan seluruh hartanya dan jiwanya dijadikan sebagai ongkos perjuangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun