Mohon tunggu...
Farid Solana
Farid Solana Mohon Tunggu... Wiraswasta - I work alone. And I don't do anything random.

I work alone. And I don't do anything random.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ah, Itu Kan Makanan Kelas Rendahan

28 Mei 2017   03:44 Diperbarui: 31 Mei 2017   23:54 1083
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana beli cilok di Jember.

Respon itu yang kuperoleh dari seorang pria paruh baya yang juga kolega ortuku saat kusebut kata 'CILOK'.

Ya, cilok. Jajanan ini mendadak populer beberapa tahun terakhir, dan tampak bakal eksis selama kurun waktu yang tak bisa kuperkirakan. Bertahun-tahun tak pulang kampung, tiba-tiba seisi kota dipenuhi oleh penjaja street food yang satu ini.

Sekilas berbentuk layaknya miniatur bakso. Benar-benar miniatur bakso, pokoknya; ada bakso goreng, pentol, dan juga tahu. Hanya saja, penyajiannya, alih-alih menggunakan mangkuk, semuanya dicampur dalam plastik yang biasa digunakan untuk menempatkan 1 kilogram gula pasir.

Umum disajikan tanpa kuah - tergantung keinginan pembeli - konsumen bisa memilih sendiri cita rasa yang diinginkan dengan mencampur larutan kacang, sambal, kecap dan juga saus. Setelah bagian atas plastik diikat dan bumbu dirasa telah merata, konsumen membuat lubang kecil di bagian bawah plastik. Dengan memainkan sedikit tekanan, butiran cilok pun berpindah dari plastik ke rongga mulut. Benar-benar di luar mainstream!

Terlepas dari cara menikmati yang begitu kontroversial itu, jajanan ini banyak digandrungi oleh warga karena beberapa hal.

Faktor kepraktisan menjadi alasan pertama. Tidak perlu repot, cukup dengan menenteng dengan satu tangan, konsumen tetap bisa melakukan hal lain tanpa mendapat gangguan yang berarti. Tak jarang ditemui konsumen yang mengendarai motor dengan santainya sembari menenteng bungkusan cilok di tangan. Alhasil, kecilnya ukuran cilok menjadikan jajanan ini digemari mahasiswa yang butuh pengganjal perut saat pergantian jam kuliah.

Ada pula yang menyukai cilok karena mirip dengan bakso, tapi enggan makan bakso. Sebagaimana kota lain di wilayah tapal kuda, Jember dipenuhi bakso sapi. Makanan ini tergolong 'berat', dalam artian tidak bisa dijadikan camilan. Bosan dengan keberadaan bakso yang notabene makanan serius, orang pun butuh snack yang bentuknya mirip bakso tapi ringan dan tidak menggemukkan.

Beberapa menyukai cilok karena bahan baku yang menyerupai bakso. Sejumlah penjual cilok menarik calon konsumen dengan cita rasa yang menyerupai bakso; yakni, menggunakan daging sapi. Tentu, prosentasenya lebih rendah ketimbang bakso; dan lebih didominasi oleh zat tepung. Memang, banyak yang berpendapat bahwa cilok minim protein - dan lebih banyak mengandung karbohidrat - jika dibandingkan dengan bakso. Tapi, tak ada yang bisa menjamin bakso konvensional yang dijajakan memiliki kandungan protein lebih banyak dan karbohidrat lebih rendah dibanding cilok.

Sebagian berpendapat cilok lebih sehat ketimbang bakso karena relatif bebas bahan pengawet dan lebih minim penyedap rasa. Hmm... Bisa jadi benar, sih. Bakso memang identik dengan penggunaan boraks dan formalin. Berhubung cilok nyaris habis setiap harinya, pengawet tidak banyak dilibatkan. Dan, keberadaan penyedap rasa di bakso banyak ditemukan di kuah. Berhubung jarang sekali konsumen yang menggunakan kuah - dan menggantinya dengan bumbu mirip pecel - bisa jadi cilok lebih tidak merugikan kesehatan.

Tapi, ada saja yang berpendapat sinis akan street food yang satu ini. Salah satunya, ya, yang menyebut cilok sebagai makanan kelas rendahan.

Fakta bahwa cilok dijajakan di jalanan tak serta merta membuat penikmatnya turun derajat. Andaikata cilok diperjualbelikan di Pacific Place, misalnya, masihkah ada yang beranggapan cilok itu hanya dikonsumsi orang kelas rendahan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun