Ketika ditanya masalah sekolah, anak laki-laki itu agak gelagapan menjawab sekolah atau tidak, tetapi kepalanya refleksnya mengatakan tidak.Â
Namun, adiknya berteriak dari belakang kalau kakaknya itu sekolah di Jambi. "Sekolahnya di Jambi sana om, jauh," ujarnya.Â
Saya mempertegas, "Wah sekolahnya jauh ya di Jambi, di pulau Sumatra?" anak laki-laki itu tidak menjawab, tetapi sang adik mengiyakan dia sekolah di provinsi daerah Sumatra tersebut.Â
Saat ngobrol masalah sekolahan, muncul anak laki-laki lainnya yang lebih tua dari anak laki-laki penjaja tisu tersebut.Â
"Jangan diladenin, dia mah orang gila," ujar anak lelaki itu dengan ketus.Â
Aku pun bertanya, apakah dia saudara atau teman dari anak-anak penjual tisu tersebut. Anak laki-laki itu menggelengkan kepalanya.Â
"Saya mah orang di gang situ, cuma memang sering melihat mereka aja di sini," ujarnya.
Sebelum menyebrang, aku masih sangat penasaran dari mana pasokan tisu itu datang. "Mamanya dapat tisu-tisu ini dari mana?" dengan lantang dia menjawab kalau semua tisu itu didapatkan dari Pal Merah, Jakarta Barat. Hal itu wajar saja, karena kantor Tessa memang ada di kawasan tersebut.Â
Namun, yang menjadi permasalahan adalah eksploitasi anak lewat penjualan tisu itu seolah halal karena tidak ada pihak yang mempermasalahkannya, termasuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dan Yayasan Lentera Anak yang sempat heboh membahas eksploitasi anak di audisi PB Djarum. Apakah mereka menilai hal itu biasa saja kali ya?Â