Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Martin Siregar, Pahlawan dalam Pelarian Widji Thukul

20 Januari 2017   23:11 Diperbarui: 22 Januari 2017   18:50 1661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Martin dengan Melanie Subono sebagai pemeran istrinya di film Istirahatlah Kata-Kata - Gbr: Martin Siregar

Penampilannya santai, dan sekilas asal-asalan. Jika hanya melihat dari penampilan saja, orang takkan mengira jika orang Batak satu ini--ia bisa menyebut dirinya begitu--punya pengalaman panjang di dunia pergerakan hingga menjadi figur tak terpisahkan dari sosok Widji Thukul yang pernah jadi ikon perlawanan di masa Orde Baru. Sahabatnya itu bernama Martin Siregar.

Saya sendiri mengenalnya sejak masih di Aceh. Apalagi, sosok yang acap saya sapa Bang Martin ini memang tak berbeda halnya dengan Widji Thukul, bisa berada di mana saja. Bagi dia, Nusantara ini adalah tanahnya dan dia bisa dengan mudah mendapatkan kawan di mana saja.

Ya, itu memang tak lepas dari sikap kesehariannya. Karakternya yang ceplas-ceplos, pembawaannya yang tenang, menjadi magnet tersendiri dari sosok asal Sumatra Utara itu. Terlebih dia bisa diajak berbicara dengan gaya apa saja, bisa sangat serius tapi jika bisa kocak dengan sempurna.

Wawasan bapak satu anak ini jangan ditanya lagi. Dia "pemakan" buku yang rajin. Prinsip dia, urusan kekayaan, satu sepeda dan satu rumah dengan satu istri dan satu anak, telah menjadi satu kekayaan sangat besar baginya. Tapi dalam urusan buku, dia tak pernah cukup dengan satu-dua buku.

Tak ayal, jika menanyakan kepada anak-anak yang pernah jadi asuhannya, di Medan misalnya, apa yang paling mereka ingat dari sosok Martin, maka mereka akan selalu teringat dua hal; buku dan sepeda. Cuma itu.

Eko Manurung, salah satunya. Pria bujang yang sangat getol dengan pemikiran Friedrich Nietsche dan menjadi salah satu pegiat kemanusiaan di Medan, juga paling hafal perangai Martin yang sangat berambisi untuk "mengunyah" hampir semua buku. 

"Kubilang, Bang, hampir tak ada buku yang tak dikenalnya," ucap Eko, sekali waktu, berkisah tentang Martin. "Dia juga memaksa awak untuk banyak-banyak makan buku. Itu yang bikin dia itu terasa sebagai guru bagi awak."

Nyaris semua buku dilahapnya. Buku-buku bertopik filsafat dan politik memang menjadi buku paling merangsang sosok ini, dan obrolannya seputar dua topik itu bisa tak putus-putusnya meluncur dari mulutnya--ya, jika dia sedang mood berbicara.

Kemampuannya dalam bergaul dengan lintas-profesi, agama, dan usia, membuat dirinya menjadi figur yang menyenangkan. Selain juga, kesetiakawanan dimilikinya pun sangat tinggi dan itu diakui hampir semua sahabatnya dari Sumatra, Jawa, hingga Kalimantan yang kini jadi tempatnya berdiam.

Tampaknya, itu juga saat Widji Thukul dalam pelarian, ketika dia merasa tak banyak orang dapat dipercaya untuk berlindung, dia justru mempercayakan dirinya kepada Martin. Dan, Martin pun menunjukkan jiwa Batak-nya yang terkenal setiakawan dan rela berkorban dengan sahabatnya.

Martin menanggung risiko. Dia memilih untuk bersiap jika karena kesediaannya menampung Widji Thukul bisa membuat dia sendiri turut jadi mangsa sebuah rezim yang siap melenyapkannya kapan saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun