Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Debu Cinta dari Athena hingga Persia

2 November 2009   04:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:28 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Hari ini sebenarnya Athena telah hangus terbakar. Debu-debu sisa kebakaran itu kucoba masukkan dalam gelas-gelas kopi yang kuminum setiap pagi mulai tiba. Bagiku, debu-debu itupun bisa dijadikan ramuan untuk terus ditelan. Mungkin, hatiku yang pernah bangga menjadi batu semakin mampu menerjemahkan dan menghargai debu-debu itu. Tadi malam, aku sedang merasakan rasa rindu yang membuat dadaku sesak. Rindu pada kelahiran manusia-manusia yang bisa mengajarkan cinta. Hingga, terik panas pasir di perapian kebingungan lebih bisa tersiram. Saat sedang merebahkan badan dikasur tua yang sudah mulai sobek dibeberapa tempat. Aristoteles, Plato, Socrates datang menyambangiku. Seketika aku terduduk untuk lebih menghargai mereka yang telah mencurahkan hidup untuk berpikir itu. Bukan menghargai mereka sendiri, tetapi memang kilau bening yang kulihat dikepala ketiga mereka mengagumkanku. Kilau itupun berpindah-pindah. Terkadang kulihat berada di dada mereka bertiga. Bergantian, cahaya itu hanya bermain di kepala dan dada. Serupa senter yang diarahkan pada kedua bagian tubuh itu.Dengan bahasa isyarat, mereka memintaku untuk berbaring lagi. Kuturuti, juga bersama puisi alasan yang kutulis dihalaman buku hati, menghargai mereka. Meski remang-remang, kuperhatikan mereka juga memiliki gembok-gembok dan rantai baja melilit perut dan bawah perut. Seakan mencekik pinggang. Tapi tidak membuat mereka susah bernapas. Aku merasakan keheranan dengan pertunjukan yang membingungkan itu. Socrates memilih untuk pertama sekali angkat bicara,"semua pelajaran tentang cinta tidak hanya bisa kau lihat pada cahaya yang ada ditubuh kami ini, Saudaraku. Dinding-dinding itu, dalam kebisuan mereka juga sedang mengajarkan tentang cinta. Ia terus saja berdiri dengan setia. Menjagamu dari hempasan angin malam. Atap rumahmu juga membawa bergudang pelajaran, ia biarkan tubuhnya terbakar oleh matahari. Sebelum panas membuat tubuhmu melepuh. Ia menahan dingin saat hujan turun. Tidak ada teriakan keluhan dari mereka bukan? Ini bukan persoalan benda hidup dan benda mati, Sahabat. Tapi persoalan jatidiri. Mereka menjadi benda mati, tapi mereka kuasa memberi pelajaran tentang cinta yang tidak menuntut adanya balasan. Sayang sekali, Sahabat." Seperti berbalas pantun saja, Plato menambahkan "Banyak sahabat kita yang memilih untuk menuli pada itu semua. Mereka buta dan merasa begitu menikmati kebutaan. Sedangkan Tuhan, sudah perintahkan Jibril dan semua malaikat-malaikat lainnya membawa tempayan-tempayan. Tempayan itu berisi potongan kuping dan bol-bola mata. Saat disuguhkan itu ke hadapan banyak manusia, seringkali kuping dan bola-bola mata itu dilemparkan mereka kedalam kuali-kuali. Lantas hanya dijadikan untuk sarapan. Sekedar untuk mengganjal perut sampai siang saja. Selanjutnya, mereka tenggelam dalam lapar, sambil belajar menulis puisi-puisi tentang kelaparan yang dirasakan terlalu panjang dan menyiksa. Padahal siksaan dari pilihan itu tidak hanya sekedar siksa, tapi agar mereka kembali sudi memanggil Tuhan. Dan mereka bisa belajar lebih dalam menghargai kelelahan malaikat yang beribu tahun terbang, mengepakkan sayap dibawah atap langit." Aku terdiam saja. Kenapa mereka mendatangiku saat malam hari seperti ini. Apakah mereka tidak pernah belajar tentang cara menghargai, apalagi aku sedang menikmati istirahat sambil menikmati lamunan tentang pelukan Cleopatra yang pernah kukunjungi beberapa abad lalu. Aristoteles tiba mendatangi tempat aku berbaring, ia mengusap kepalaku. Ibu jarinya mengusap-usap keningku. Ia genggam tangannya, dengan tetap meletakkannya diatas keningku. Tidak bicara apapun. Lantas mereka bertiga berdiri berpelukan, melangkahi badanku yang terbaring. Bernyanyi dengan irama yang tidak pernah kukenal. Aku tidak bisa menyamakan alunan suara itu seperti aku menganal Jazz, Rock, atau musik apapun. Tetapi aku merasa bahwa suara mereka telah memadukan semua jenis alat musik yang pernah kupegang. "filsafat itu adalah cinta. Mereka yang mendalami makna cinta semua layak untuk disebut sebagai filsuf. Cinta, dari sejak beribu tahun silam telah menjadi cerita yang paling indah. Harumnya mengalahkan aroma mawar. Para pecinta itu selalu mencoba memahami apa saja yang diperhatikan. Merekalah orang-orang yang tahu bahwa selalu ada pesan Tuhan didalam semua materi dan immateri yang terlihat, teraba dan terasa. Para pendengki hanya mampu menulis sejarah perang dan kebencian. Para lelaki yang gagal menerjemahkan cinta, para perempuan yang tidak peduli pada hati, mereka akan menjadi penulis, cerita perang. Aku meminta kau sahabatku, cintailah al Ghazali, Rumi, Gibran, Iqbal dan semua mereka yang bersedia bicara dengan hati. Mereka itu selalu dibicarakan para Nabi dalam puisi-puisi terindah yang pernah kami dengar. Mereka telah penuhi kamar-kamar hati banyak manusia pada ingin, untuk tidak lelah mendalami cinta. Cinta takkan kau temukan walau hanya definisi, kala kau belum merobek semua kulit-kulit yang selama ini kau hindari dari sengat panas matahari. Kuliti dirimu serupa tukang jagal yang sedang melakukan pekerjaannya." Dua kelebat cahaya tiba dengan cepat, membentuk 2 tubuh manusia. Lancang berdiri didadaku. Kucoba lebih kenali,"aku menginjak badanmu yang lemah ini, agar kau lebih menujukan pikiran pada jiwa yang tidak pernah menginginkanmu terpenjara. Kau harus merobek semua kulit tubuh ini." Kebingungan menyelimutiku, sampai semua mereka yang membuatku bingung itu  menghilang. Bangkit, mencoba berdiri dan mengambil selembar kertas. Kutuliskan bait-bait rasa,"tidak ada cinta dalam kerelaan atas penjajahan kebodohan. Cinta selalu lebih layak diberikan pada yang mampu memberi cinta, tetapi cinta harus diberikan pada siapa saja. Tanpa tersekat oleh apapun. Karena cinta bukanlah keindahan ranjang pengantin yang berderak dalam desah napas yang hanya membuat mata ingin untuk lekas terlelap." Lantas kubakar, kuambil debunya, menaburkannya dalam gelas yang akan kupergunakan untuk minum selepas tidur, besok pagi."kebaikan dalam memahami kebenaran tidak harus menunggu matahari datang, karena bukan tidak mungkin sayap-sayap malaikat akan melemparkan matahari kedalam lautan terdalam dilangit sana. Sebelum kau sempat mereguk debu ini semua." Gemuruh dari beberapa suara itu begitu berirama serupa genderang perang yang membangunkan prajurit tempur yang sedang dilamun rindu pada tempat tidur. Aku tercekat, dan mengangguk.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun