Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Bebas Golput dan Ancaman Kebebasan Terenggut

25 Maret 2019   21:32 Diperbarui: 26 Maret 2019   16:39 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi golput. (Kontan/Andra Surya)

Berbeda dengan saat ini, apa yang menjadi kemauan rakyat terlihat lebih mendapatkan tempat. Bahkan saat mereka memilih untuk tidak memilih pun penguasa sama sekali tak punya kuasa untuk memaksa. Sebab tren kini hanya bersandar kepada kesadaran, bukan pemaksaan.

Masyarakat sadar bahwa mereka tak bisa dipaksa-paksa, hingga mereka bisa memilih sikap apa saja sepanjang tidak bertabrakan dengan aturan negara. 

Bahwa dengan alasan kesadaran itu juga maka sebagian memilih untuk tidak memilih, memang itu hak mereka. Tidak ada yang perlu dipaksa. Namun pertanyaannya, seberapa berarti sebuah kesadaran jika kesadaran itu justru hanya membuat orang menjadi pasif? 

Sebab jika melihat urusan negara dengan kacamata ibarat sebuah pertarungan, maka tidak ada pertarungan yang dimenangkan dengan sikap pasif. Bahkan bisa jadi, sikap pasif seperti ini tidak saja akan membuat orang itu sendiri terbunuh, namun sekelilingnya pun akan hancur. Ya, ini jika kita mencoba membayangkan negara layaknya sebuah medan pertarungan.

Terlebih hari ini, negeri kita sendiri memang masih bertarung dengan banyak negara, entah dalam hal ekonomi, ilmu pengetahuan, budaya, dan sebagainya. Sikap pasif hanya akan membuat sebuah negara dan rakyat di sana tenggelam dalam perasaan minder, rendah diri, tidak percaya diri, hingga akhirnya benar-benar tenggelam. 

Nah, kalau kesadaran justru berujung pada kehancuran, tenggelam dan hancur, apakah ini bisa disebut sebagai kesadaran? Bukankah kesadaran semestinya justru membangkitkan, menggerakkan, menguatkan, dan mampu membawa perbaikan terhadap banyak hal? 

Menunggu yang sempurna sebagai calon pemimpin, sama saja berkhayal mengharapkan Tuhan sendiri yang turun dan mengikuti Pilpres. Di tangan-Nya mungkin semua akan beres karena Dia diimani sebagai Yang Mahasempurna. 

Jika kebebasan jadi alasan untuk tidak memilih, hati-hati juga, sebab bukan tidak mungkin kebebasan itu akan terenggut. Sebab, jika negeri ini kembali jatuh ke penguasa bermental tangan besi, hanya mau bicara tanpa mau mendengar, hanya bicara berapi-api tapi tak pernah mampu membawa kesejukan, kebebasan yang dipuja-puja bukan mustahil akan benar-benar lenyap.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun