Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mimpi Indah HTI, Mimpi Buruk Ibu Pertiwi

26 September 2018   21:59 Diperbarui: 26 September 2018   22:16 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sempat berupaya mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN--bedakan dengan PTUN) setelah gugatan mereka pada Mei lalu kandas. Akhirnya, kini pun mereka harus kembali gigit jari. 

Pengadilan yang menangani masalah diajukan HTI menilai bahwa mimpi indah organisasi tersebut berisiko menjadi mimpi buruk bagi Ibu Pertiwi. Bagi republik ini sendiri.

Bukan rahasia bahwa organisasi HTI sama sekali tidak menganggap hukum dan peraturan di negeri ini sebagai sesuatu yang harus mereka hormati. Mimpi mereka adalah mimpi untuk mendirikan khilafah. Terlepas orang-orang di dalam organisasi tersebut adalah figur-figur yang lahir dan hidup di negeri ini, namun mimpi mereka bukanlah menghidupkan negeri di mana mereka hidup.

Juga bukan rahasia jika keberadaan mereka justru hanya untuk menghidupkan ide-ide mereka yang jelas-jelas berseberangan dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagi mereka, mematikan apa yang sudah ada di negeri ini, dari UU hingga segala hukum yang dianut di negeri, adalah sebuah misi yang harus diperjuangkan sampai mati.

Silakan simak pernyataan-pernyataan Ismail Yusanto yang kerap membicarakan apa saja alasan dia menolak pelarangan terhadap kegiatan organisasinya. Ia selalu berdalih bahwa yang ia perjuangkan adalah salah satu ajaran Islam, dan tidak ada yang salah.

Sementara pihak berwenang, terutama majelis hakim yang menangani banding diajukan HTI, memastikan bahwa apa yang dilakukan HTI tidak lain adalah mengganti Pancasila, UUD 1945, dan mengubah NKRI menjadi negara khilafah. Itulah kenapa segala dalih dikemukakan organisasi tersebut tidak digubris oleh majelis hakim.

HTI memang mengawali upaya mereka untuk bisa menarik napas lagi lewat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), awalnya. Namun PTUN menolak gugatan mereka pada 7 Mei 2018. "Kami akan melakukan upaya hukum berikutnya, banding," kata Ismail Yusanto usai persidangan yang dipimpin Tri Cahya Indra Permana.

Lantas organisasi tersebut juga berharap bisa "menggoda" PT TUN yang notabene menangani perkara di tingkat banding.

Hasilnya lagi-lagi dimentahkan. PT TUN pun menilai keputusan pemerintah lewat Kementerian Hukum dan HAM dengan SK Nomor AHU 30.AH.01.08 Tahun 2017 sudah tepat. Sebab dengan SK itu, praktis SK Kemenkumham Nomor AHU-00282.60.10.2014 yang selama ini menjadi nyawa bagi HTI, tercerabut dan mengharuskan HTI untuk menguburkan diri.

Begitu juga, menurut PT TUN, keputusan PTUN yang menolak gugatan HTI pun sudah benar. Sebelumnya, PTUN menolak mereka karena pertimbangan, "Penggugat memandang demokrasi adalah sistem kufur karena menjadikan kewenangan ada di tangan manusia bukan pada Allah," seperti dibacakan Tri Cahya, saat itu.

Senada dengan alasan PT TUN yang juga tidak jauh dari pertimbangan PTUN. Disebutkan bahwa, Kemenkumham berwenang mencabut keputusan a quo atas dasar oleh fakta-fakta pelanggaran. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun