Mohon tunggu...
Sodik Permana
Sodik Permana Mohon Tunggu... Wiraswasta - JnT Cargo

Penikmat filsafat dan penulis pemula yang senantiasa berusaha konsisten dalam belajar sesuatu yang belum terfahami.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Resistensi Beragama

7 September 2022   13:31 Diperbarui: 7 September 2022   13:34 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Suatu ajaran yang mengharuskan penganutnya menggunakan akal sebagai pijakan kebenaran dan menggunakan hatinya sebagai landasan meyakini. Hal ini tentu bukan tanpa dasar, memberikan landasan kuat terhadap suatu ajaran dan keyakinan adalah sangat penting mengingat tantangan setiap zaman itu berbeda. Persoalan yang dihadapi semakin maju semakin banyak interpretasi dan kompleksitas, jadi berbahaya apabila interpretasi itu menempati ruang yang tidak tepat. Mengingat kembali tentang penyebaran islam di tanah Nusantara, penyatuan ajaran dengan budaya masyarakat di suatu tempat itu tidak lain merupakan suatu interpretasi ulama atau wali songo terdahulu dan itu merupakan metode terbaik yang pada ahirnya islam mudah diterima serta cepat menyebar ke plosok nusantara. 

Bisa saja kala itu terjadi gejolak dalam penyebarannya, namun faktanya islam tetap penyebar luas sampai hari ini kita ketahui bahwa Indonesia sebagian besar penduduknya itu beragama islam. Barangkali bagi sebagian orang menganggap bahwa resistensi agama berada pada campuran agama dengan budaya sehingga muncul gesekan diantara keduanya, tapi menurut saya resistensi agama itu terletak pada bagaimana kita menginterpretasi sesuatu yang berkenaan dengan agama dan budaya itu sendiri.

Tantangan Era Digital, Cerdas dalam ber-Media Sosial

Dewasa ini kita ketahui bahwa digitalisasi seolah menjadi bagian kehidupan, tentu hal ini kita maksudkan bahwa dampak positif dari digitalisasi adalah mempermudah aktivitas manusia. Disamping memiliki dampak positif era digital ini yang melalui salah satu produknya yaitu media sosial juga menjadi suatu resitensi baru bagi kita dalam beragama. Mengapa demikian ? karena melalui media sosial inilah penyebaran informasi atau hal lainya sangat cepat dan menyeluruh. Barangkali kita telah disuguhkan berbagai persoalan, berbagai perdebatan dan berbagai hal lainya di media sosial tersebut. Dalam lingkup ini tentu yang dimaksud adalah lokus media sosial salah satunya itu sifat kolaboratif, partisipatif dan real time (bisa di akses dimana dan kapan saja) yang mana corak perbedaan pendapat lebih mudah dan banyak terlihat. 

Barangkali juga kita merasakan seolah agama ini menjadi sedikit ambigu, terkhusus bagi masyarakat awam seperti saya. Dan menurut saya ini merupakan tantangan era digital bagi kita ummat islam, persoalan-persoalan yang muncul belakangan ini menimbulkan kebingungan bagi sebagian orang hingga pada situasi tersebut ada yang memilih untuk acuh dan ada yang merasa tersinggung dan bahkan memberikan penilaian yang buruk terhadap persoalan itu. Sehingga sebagai counter dampak persoalan yang ada ini mengharuskan kita untuk tidak fanatik terhadap persoalan itu, artinya kita harus memverifikasi perbedaan pendapat itu dengan nalar yang logis serta dalil naqli juga didampingi oleh guru kita. Dan terpenting adalah kita harus bisa mengetahui arah dan tujuan adanya suatu persoalan, intinya jika suatu hal di perdebatkan yang kemudian kita sudah memverifikasinya dan jika perdebatan ini masih terus tersebar di media sosial, maka kita akan tahu kemana arahnya.

Dunia digital bagian dari resistensi beragama, maka penuhi media sosial dengan pemikiran rasional  dan nilai kemanusiaan yang baik atas agama

Sikap Cerdas sebagai Muslim Newbie

Saya ini sebagai muslim newbie yang memahami agama belum secara kaffah, memulai memahami agama dengan metode filsafat lalu kemudian memverifikasinya melalui dalil naqli (Al-Qur'an dan Hadist). Tulisan ini hanya sekedar pendapat pribadi mengenai pengalaman saya dalam bermedia-sosial, perlunya kita cerdas dalam beragama itu adalah suatu hal yang harus kita tempuh agar dalam beragama kita tidak serampangan dan mudah terbawa arus. Perdebatan dalil maulid Nabi, dalil solawat, dalil tahlil dan yang terbaru mengenai wali majdub serta mungkin masih banyak persoalan lainya, saya melihat ada satu golongan yang sangat 'keukeuh' (gigih) untuk mempersoalkan hal-hal tersebut. 

Sebagai muslim newbie saya melihat bahwa perbedaan-perbedaan ini menjadi evolusi resistensi beragama, dan menambah keyakinan bahwa beragama memang harus menggunakan akal yang sejalan dengan qolbu. Setelah memverifikasi beberapa persoalan tadi, kita tarik benang merah bahwa setiap aktivitas yang positif, tidak ada larangan yang jelas dalam Al-Qur'an dan Hadist itu merupakan interpretasi yang kemudian dikolaborasikan maka itu bukan suatu perkara yang mereka sebut bid'ah. Contoh saja ketika seperti solawat dan maulid, apabila didalamnya terdapati kalimat-kalimat yang tidak baik seperti menghujat maka itu tidak boleh. Artinya dalam hal ini perbedaan harus kita sikapi dengan menempatkan kebenaran dan kebaikan secara bersamaan, lagi pula kita tidak punya hak untuk menjustifikasi seseorang bahkan dalam hadist qudsi disampaikan;

"Diriwayatkan dari Jundub r.a., bahwa Rasulullah diberitakan bahwa seseorang berkata, 'Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni fulan', dan sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, "siapakah yang telah bersumpah dengan nama-Ku, bahwa aku tidak akan mengampuni fulan, seseungguhnya aku benar-benar mengampuni fulan, dan Aku membatalkan amal-amalmu", atau seperti perkataan / sabda yang serupa kalimat tersebut."  

Yang kemudian ditegaskan juga pada hadist yang lain (bagian ahir dari hadist) bahwa 'siapa yang mendapatkan banyak kebaikan maka bersyukurlah kepada Allah, dan siapa yang menemukan selain itu (kebaikan) janganlah mencela kecuali dirinya'. (Hadist diriwayatkan dari Abu Dzar Al-Ghifari). Hadist tersebut panjang yang menjelaskan bahwa manusia janganlah berlaku zalim sesamanya, bahwa seluruh mahluk durhaka kepada Allah itu tidak akan mengurangi kerajaan-Nya, bahwa semua perbuatan akan ada balasanya, dan jika kita menemukan selain kebaikan maka janganlah mencela kecuali dirinya.

Landasan Filsafat sebagai Resistensi Beragama

Bukan hal yang lumrah bagi kita terutama para sarjana filsafat dan penikmat filsafat yang ada bahwa sejak dahulu filsafat berbicara tentang makna kehidupan. Lokus yang berbeda dari setiap zaman menjadikan filsafat berkembang sebagaimana mengiringi perkembangan manusia. Filsafat rasionalis, filsafat teologis dan metafisis yang pada ahirnya dijadikan sebagai efisiensi dalam beragama, dorongan utamanya adalah kecintaan seseorang untuk menemukan suatu kebenaran dan kebijaksanaan yang memberikan nilai lebih sebagai pondasi seseorang dalam beragama. Kerangka berfikir yang dibangun sebagai awal dalam menilai pemikiran, tolak-ukur kelogisan universal memiliki peranan substantif menghadapi serangan-serangan pemahaman atau ajaran. Dalam filsafat, epistemologi sesuatu menentukan sikap seseorang dalam melakukan aktivitasnya terkhusus menyikapi persoalan perbedaan bahkan perdebatan yang lebih bersifat serangan pemahaman. Kita sederhanakan pembahasan ini bahwa yang dimaksud berfilsafat dalam agama adalah penggunaa akal untuk menemukan titik temu kebenaran, keseimbangan aqli dan naqli menjadi hal penting dalam hal ini.

Epistemologi adalah kerangka logis sebagai landasan Universalitas dalam beragama

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun