Mohon tunggu...
Stephen Pratama
Stephen Pratama Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Student at department of Sociology - Faculty of Social and Political Sciences University of Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Penghapusan Ujian Nasioanal (UN) SMA Harus Didahului oleh Langkah Revolusioner

18 April 2013   16:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:59 3494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun ajaran 2012/2013 khususnya bagi peserta didik SMA menuai berbagai persoalan akut yang memperburuk citra pendidikan nasional. Berbagai komentar miring mengenai buruknya pelaksanaan UN hingga gugatan agar UN ditiadakan tahun depan (tahun ajaran 2013/2014) bertebaran di media. Komentar-komentar miring tersebut mengindikasikan adanya ketidakjelasan mengenai arah dari sistem pendidikan di Indonesia. Penulis sebagai bagian dari pembaca berita-berita miring tersebut tergerak untuk membuat tulisan ini sebagai respon khususnya atas mereka yang menuntut dihapuskannya UN dari sistem pendidikan Indonesia.

Tuntutan akan dihapuskannya UN tidak semata-mata disebabkan oleh buruknya pelaksanaan UN tahun ini, namun secara akumulatif kita bisa mengatakan bahwa sepanjang sejarah pelaksanaannya UN cenderung mendapatkan nilai buruk di mata berbagai pihak mulai dari peserta didik, orang tua murid, guru, dan tentunya beberapa pengamat sehingga UN pun dinilai tidak layak untuk terus dipertahankan sebagai suatu bentuk evaluasi akhir secara nasional. Akan tetapi, bisa kita katakan bahwa puncaknya adalah tahun ini (tahun ajaran 2012/2013). Dimulai dengan diterapkannya 20 paket dalam UN sampai dengan terlambatnya pelaksanaan UN di beberapa daerah. Beberapa kasus kecil seperti tertukarnya soal ujian juga turut menambah daftar masalah. Semua problematika ini mengundang reaksi keras dari publik khususnya mereka yang terikat di dalam dunia pendidikan dan merasa terganggu dengan berbagai penerapan kontroversial selama pelaksanaan UN. Tak heran jikalau emosi banyak pihak meledak dan munculah berbagai protes di media terkait pelaksaan UN tahun ini.

Hal yang paling menarik perhatian penulis tentu saja wacana mengenai keinginan untuk dihapuskannya UN dari sistem pendidikan Indonesia. Penulis mengajak pembaca untuk sedikit mengkritisi penerapan pendidikan di Indonesia. Apakah betul dihapuskannya UN merupakan suatu langkah yang solutif dalam perbaikan pendidikan di Indonesia? Ini adalah pertanyaan besar dalam tulisan ini yang akan penulis coba untuk jawab. Pertama-tama penulis harus menekankan bahwa ulasan penulis bukanlah suatu ulasan yang berdasarkan penelitian matang sehingga mungkin sifatnya terlalu umum dan kurang menyentuh titik fundamental dari permasalahan pendidikan, walau demikian penulis mencoba untuk menyajikan beberapa pernyataan sederhana yang sebenarnya perlu diperhatikan.

Penulis berpandangan bahwa UN diadakan dengan tujuan tertentu. Tujuan tersebut bagi penulis tidak hanya sekadar menguji pemahaman atas materi yang sudah dipelajari selama di bangku SMA. Bagi penulis tujuan dari adanya UN adalah agar standar nasional bisa diterapkan di seluruh sekolah yang terikat dengan kewajiban untuk mengikuti UN. Hal ini tentu saja mengacu pada soal-soal UN yang memang dibuat berdasarkan standar nasional yang sudah dirumuskan. Standar nasional itu menjadi acuan untuk mengukur secara kuantitatif apakah seorang peserta didik sudah mampu memenuhi tuntutan minimal yang harus dipenuhinya. Standar nasional tersebut juga dapat mengukur apakah mutu dari suatu sekolah sudah cukup atau dengan kata lain sudah mampu menyelenggarakan pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan yang kualitasnya tidak kurang dari standar yang ditetapkan.

Apakah pelaksanaan UN mengabaikan proses belajar selama SMA? Secara umum banyak orang bisa mengatakan demikian. Akan tetapi, penulis berpandangan bahwa proses sehari-hari yang dijalani oleh peserta didik di SMA merupakan instrumen agar mereka mampu memenuhi standar nasional dan memang seharusnya demikian. Oleh karena itu, faktor yang menyebabkan peserta didik tidak lulus bisa jadi karena sepanjang menempuh studi di SMA mereka tidak menjalani suatu proses yang membuat mereka bisa sampai pada standar yang wajib dicapai. Dengan kata lain UN bukannya mengabaikan proses, tetapi justru menjadi cermin apakah selama ini proses sudah berjalan dengan semestinya (dalam hal ini penulis tidak memperhitungkan faktor “luck” dalam menjawab soal UN yang berbentuk pilihan berganda atau faktor teknis pengisian di LJUN yang seringkali turut memengarhui hasil). Dengan demikian tepatkah jikalau kita menyalahkan UN sebagai biang utama buruknya pencapaian akademik? Tentu saja tidak karena proses sehari-hari juga berperan. Pembaca boleh tanyakan pada para guru yang menyusun silabus dan RPP. Jika mereka menyusunnya dengan benar, maka seharusnya mereka membuat rancangan selama satu semester berdasarkan standar yang ditetapkan pemerintah karena standar itulah yang akan digunakan pula dalam merancang evaluasi akhir sebelum tamat. Rancangan yang benar tentunya harus diikuti oleh praktik nyata yang benar pula.

Di sini kita bisa melihat keterkaitan antara standar nasional, proses belajar mengajar, dan UN. Melihat keterkaitan ini tentu saja tidak lepas dari pengaruh paradigma fungsionalis. Standar nasional dibuat agar pendidikan Indonesia punya suatu dasar yang mengarahkan bagaimana seharusnya proses belajar mengajar berjalan dan bagaimana evaluasi harus dilakukan agar para lulusan benar-benar punya suatu kompetensi tertentu. Proses belajar mengajar tentu punya fungsi untuk mewujudkan penerapan dari standar nasional dan membentuk peserta didik menjadi manusia-manusia yang nantinya siap untuk diuji dengan soal-soal yang tentunya berpijak pada standar nasional itu tadi. UN sendiri mempunyai fungsi untuk meninjau sejauh mana setiap peserta didik memiliki kompetensi yang diharapkan berdasarkan standar nasional. UN juga berfungsi untuk meninjau sejauh mana sekolah-sekolah dapat menerapkan proses pembelajaran berbasis standar nasional sehingga dapat mencetak peserta didik yang kompeten (menurut kaca mata standar nasional).

Berdasarkan pemaparan di atas kita bisa mendapatkan jawaban pertama. Penghapusan UN tidak akan memberi dampak positif selama masih terdapat kesenjangan kualitas antar sekolah di Indonesia. Sekolah-sekolah bagus bisa mendidik peserta didiknya agar lulus dengan membawa skill cemerlang dan bahkan level dari UN pun mungkin hanya setinggi jengkal mereka. Lain halnya dengan sekolah-sekolah terbelakang di daerah-daerah tertentu. Sekolah-sekolah ini mungkin harus berjuang bahkan untuk mampu meluluskan beberapa dari peserta didiknya saja karena level UN jauh melampaui kemampuan dari sekolah dalam membekali peserta didik.

Dengan demikian pernyataan yang seharusnya dilontarkan pertama kali bukanlah penghapusan akan UN melainkan peningkatan standar di setiap sekolah yang masih berada di jajaran bawah agar mampu menyelenggarakan proses pendidikan yang berkualitas baik sesuai standar nasional. Setelah semua sekolah mencapai suatu standar minimal yang diharapkan bahkan melampaui barulah UN (yang pembuatan soalnya berakar pada standar nasional) bisa ditiadakan, sebab itu artinya setiap sekolah sudah dapat menjamin bahwa lulusannya memenuhi kriteria kelulusan (berdasarkan standar nasional) tanpa harus melalui jalur UN. Pelaksanaan UN selama ini dipandang penulis sebagai jalan utama untuk memastikan apakah calon lulusan benar-benar sudah memenuhi kriteria yang diperlukan agar bisa disebut LULUS. Kepastian yang didapat melalui jalur UN itu menyusul tidak ada jaminan bahwa semua sekolah punya kapasitas yang sama untuk dapat menghasilkan lulusan yang setidaknya memenuhi tuntutan berdasarkan standar nasional.

Tidak cukup hanya pada penjelasan di atas dan penulis akan membahas jawaban kedua. Jawaban kedua ini berkaitan dengan bobroknya moral dari banyak pihak yang merusak pendidikan itu sendiri. Pembaca tentu tidak asing dengan kasus contek mencontek, katrolan nilai, dan hal-hal sejenisnya yang pada intinya adalah lulus tidak dengan usaha sendiri dan adanya penggunaan cara-cara yang dilarang untuk boleh mendapatkan predikat lulus. Ini adalah hantu yang penulis kira sudah biasa bergentayangan di ranah pendidikan. Persoalan ini juga menjadi salah satu penghambat terlaksananya proses belajar mengajar yang berorientasi pada tujuan pendidikan (penulis pernah menyinggung hal ini dalam tulisan terdahulu : SISTEM PERINGKAT SEBAGAI PEMICU KONFLIK YANG MEMBUYARKAN TUJUAN PENDIDIKAN DAN PENTINGNYA PROSES PENDIDIKAN).

Sebelum pelaksanaan UN dihapuskan, maka setiap sekolah sudah harus dapat menjamin bahwa lulusan mereka benar-benar LULUS dalam artian pencapaian akademiknya dapat dipertanggungjawabkan. Penulis rasa setiap sekolah cenderung mempromosikan sisi positif mereka sehingga sulit bagi orang luar untuk menemukan titik suram dari sekolah tersebut. Oleh karena itu, sangat jarang ada sekolah yang mempublikasikan seberapa banyak mereka sudah mengkatrol nilai peserta didiknya agar dapat lulus. Sekolah-sekolah bisa saja membentuk citra bahwa mereka mampu menyelenggarakan proses pendidikan yang bersih walaupun borok di dalamnya begitu menghitam. Ini bukan persoalan sederhana karena manipulasi dalam dunia pendidikan adalah suatu problematika besar. Apabila suatu hari nanti setiap sekolah diberi otonomi untuk menentukan sendiri lulusan peserta didiknya, maka sekolah harus bisa menjamin bahwa setiap dari lulusannya adalah benar-benar lulus dan tentunya harus dapat dipertanggungjawabkan.

Dari dua jawaban di atas kita bisa menarik kesimpulan bahwa langkah yang harus dilakukan pemerintah adalah tidak terburu-buru untuk menghapuskan UN sebagai bagian dari komponen evaluasi yang menentukan kelayakan seorang peserta didik untuk tamat dari SMA. Yang paling pertama harus dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan kualitas dari sekolah-sekolah terbelakang agar dapat menyelenggarakan pendidikan yang mampu mencetak generasi yang sanggup mencapai atau bahkan melampaui suatu standar minimal yang diharapkan supaya nantinya peserta didik mereka tidak harus mengikuti UN sebagai jalan untuk memastikan bahwa mereka sudah mencapai standar minimal yang mengacu pada standar nasional. Sebab rasanya tidak adil jikalau UN hanya diperuntukan bagi sekolah-sekolah tertentu yang belum dapat menjamin secara mandiri bahwa lulusannya sudah memenuhi standar sehingga pelaksanaan UN dipukul rata untuk semua sekolah di Indonesia. Kemudian sebelum para guru dan peserta didik atau pihak-pihak lain yang bersangkutan meluncurkan tuntutan akan dihapuskannya UN lebih baik mereka terlebih dahulu membuktikan bahwa para lulusan boleh lulus karena usaha murni dan bukan dengan cara-cara yang tidak layak. Bukti-bukti tersebut tidak diperlukan melalui hadirnya promosi-promosi palsu, namun melalui tindakan nyata dalam rangkaian kegiatan belajar mengajar di internal sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun