Mohon tunggu...
mardianto mgl
mardianto mgl Mohon Tunggu... mahasiswa -

sedikit ilmu yang dibagi lebih baik daripada banyak ilmu yang disimpan sendiri,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Miskin di Tanah Subur

8 Januari 2016   21:25 Diperbarui: 8 Januari 2016   21:55 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

["petani Indonesia"][sumber gambar www.flobamora.net]

Dari tahun ke tahun, jumlah petani di Indonesia semakin menurun. Banyak dari lahan lahan pertanian yang sekarang telah berubah menjadi fungsi menjadi pertokoan, perumahan, atau bangunan lain. Hal ini tentu saja mempengaruhi dari jumlah produksi pertanian asli Indonesia. Menurut BPS (badan pusat statistik),hasil riset yang dilakukan selama sepuluh tahun dari tahun 2003 sampai dengan 2013 menunjukkan hasil, rumah tangga yang menanam padi (di tahun) 2003 (sejumlah) 14,2 juta rumah tangga,  sementara (tahun) 2013 turun menjadi 14,1 juta. Usaha tanaman kedelai menurun tahun 2003 ada satu juta, pada tahun 2013 hanya 700 ribu. Untuk usaha tanaman jagung juga terjadi penurunan (dari) tahun 2003 6,4 juta, pada tahun 2013 menjadi 5,1 juta. Lalu bagaimana hal ini bisa terjadi dan bagaimana solusi untuk menyelesaikannya.

Regenerasi rumah tangga petani tidak berjalan

Setiap orang tua yang berprofesi sebagai petani tentu saja ingin melihat anaknya memiliki profesi yang lebih dari mereka. Prospek profesi sebagai petani dinilai sangat rendah karena memiliki penghasilan yang rendah bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari hari kadang tak mencukupi. Selain itu generasi muda pasti akan mereasa gengsi apabila memiliki pekerjaan sebagai petani karena setiap hari harus panas panasan dan bekerja berat. Banyak para pemuda desa yang potensial kerja lebih memilih mengadu nasib di kota besar untuk mencari peruntungan. Memang sebagian dari mereka ada yang berhasil, namun banyak juga yang gagal survive di kota besar. Hanya sedikit para pemuda desa yang tetap bertahan di desa mengembangkan desanya. Anggapan bahwa di kota besar pasti akan memiliki kehidupan yang lebih baik juga menimbulkan besarnya arus urbanisasi ke kota besar. Sehingga wajar saja jika skearang kota besar sudah sangat sesak oleh banyak orang. Kemacetan di jam jam sibuk juga sudah menjadi pemandangan khas kota besar.

Kehidupan modern

Di abad 21 ini kehidupan sudah semakin modern. Kemajuan di hampir segala bidang tentu sangat membantu kehidupan manusia, termasuk juga di bidang pertanian. Dulu membajak sawah dengan menggunakan kerbau atau sapi, sekarang lebih mudah dengan mengunakan traktor. Namun hal itu belum cukup membantu petani. Teknologi pertanian di Indonesia belum secanggih di negara lain. Hal ini tentu saja sangat mempengaruhi produksi dari pertanian. Selain itu harga yang tak menentu membuat mereka berpikir ulang untuk menjadi petani. Petani juga dianggap sebagai kalangan bawah di lingkungan sosial. Perbedaan status sosial ini sangat jelas dan tentu itu bukan sesuatu yang mengenakan.

Kurangnya dukungan pemerintah terhadap petani Indonesia juga membuat kehidupan petani tak kunjung sejahtera. Memang progam progam keluarga sejahtera petani atau apa namanya sudah ada. Tapi di sisi lain, terkadang kebijakan pemerintah kurang pro terhadap petani kecil. Contoh saja kebijakan impor yang sering dilakukan oleh pemerintah.  Janji janji mensejahterakan para petani mungkin hanya diobralkan saja waktu kampanye, namun lupa saat sudah jadi pemimpin.” Mereka butuh bukti bukan janji.”

Biaya produksi semakin mahal dan alam tak menentu

Semakin lama biaya produksi pertanian semakin tinggi. Harga pupuk yang mahal dan biaya lain juga yang harus dikeluarkan. Untuk mendapatkan bibit yang unggul pun harus mengeluarkan biaya yang lebih. Kemudian hasil panen yang tidak seberapa dan hanya mendapat sedikit keuntungan.

Memang sangat ironi, dahulu negara indonesia yang menjadi lumbung pangan, bisa memenuhi kebutuhan beras di negara sendiri bahkan bisa mengekspor hasil pertanian, sekarang banyak barang kebutuhan yang harus diimpor dari luar negeri. Apakah swasembada pangan hanya kejayaan di masa lalu saja atau akan terjadi lagi suatu saat nanti. Atau mungkin swasembada petani hanya rangkaian program pemimpin bangsa yang hanya sekedar wacana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun