Sudah hampir sepekan banjir Jakarta menjadi topik hangat yang selalu mewarnai obrolan warung kopi dan meja para teknokrat.
Seakan ada yang unik pada banjir yang setidaknya merendam 11 (sebelas) kelurahan di Jakarta tahun ini. Obrolan-obrolan yang ada tidak hanya membahas solusi dan antisipasi banjir. Bahkan foto Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, saat memantau lokasi kejadian juga menjadi cemilan renyah yang dinikmati bersama secangkir kopi.
Di ruang yang berbeda, selain warung kopi dan pentas para teknokrat, tersaji pula diskusi yang tak kalah menarik. Sebagian orang tampak sedang mencari-cari filosofi banjir Jakarta. Sebagian berpendapat bahwa banjir tahun ini adalah pelajaran yang "sengaja" diberikan Tuhan untuk warga Indonesia.
Hujan lokal yang terus menerus mengguyur ibu kota serta banjir kiriman dari Bogor benar-benar membuat Jakarta terendam. Seperti lazimnya, air memiliki sifat mengalir ke tempat yang lebih rendah. Banjir tidak akan pernah membeda-bedakan. Tak peduli rumah petani atau karyawan. Pemukiman penduduk atau istana negara. Lokasi pembangunan atau lahan proyek mangkrak. Semua akan direndam habis. Bahkan tak jarang pula diluluh lantakkan. Air memang begitu, tak pernah pilih kasih. Seperti saat air sedang "mengamuk" di Meulaboh pada tahun 2006 lalu.
Sifat air yang memperlakukan semua dengan setara inilah pelajaran yang di kirim oleh Tuhan. Kita diperintah untuk bersikap adil kepada siapapun. Lebih-lebih bagi penegak hukum, harus mensifati diri seperti air. Hukum tak boleh lagi tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Siapapun yang bersalah harus dihukum, tak boleh dibeda-bedakan. Tak peduli kaya atau miskin. Tak peduli pejabat atau rakyat. Hukum wajib merata.
Waktu dan tempat kejadian juga tak kalah memiliki makna yang mendalam. Tahun 2018 yang menurut sementara orang adalah tahun politik menunjukkan situasi yang sangat genting. Artinya, kondisi negara kita juga sedang dalam waktu seperti itu, genting. Korupsi merajalela. Hukum sering kali berpihak kepada yang kaya. Kaum beragama berbuat durjana. Murid mempidanakan dan membunuh gurunya. Remaja melupakan pendidikan. Orangtua tak peduli dengan anaknya. Budaya barat merajalela. Orang kurang ahli dipilih menjadi pemimpin. Akhlak menjadi barang langka, dlsb.
Adapun lokasi kejadian di Jakarta, adalah sinyal bahwa pelajaran yang diberikan itu sangat penting. Seperti pentingnya Jakarta bagi Indonesia sebagai ibu kota. Seperti pentingnya emas bagi suatu negara sebagai cadangan devisa. Seperti pentingnya air bagi setiap makhluk sebagai sumber kehidupan.
Pertanyaannya, apakah kita mau mengambil pelajaran berharga ini? mengaplikasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Bengkalis, 12/02/2018