Mohon tunggu...
Nena Maing
Nena Maing Mohon Tunggu... Administrasi - Magister Ilmu Hubungan Internasional UMY

Seorang istri dan Ibu dari malaikat kecil Eilyn Kesu. 💕💕💕

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Konflik Papua dari Perspektif Budaya

14 November 2019   16:37 Diperbarui: 14 November 2019   16:38 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dialog Jakarta-Papua harus mencerminkan lima hal terkait budaya Papua. Pertama, dialog harus mampu mempertahankan identitas-identitas kultural dan posisi-posisi politik yang berlawanan sebagai sesuatu yang wajar. Unsur-unsur representasi, format, mekanisme, dan agenda dialog harus merupakan kesepakatan pihak-pihak yang berkonflik. Semakin tinggi kadar kesepakatan di dalam proses pra-dialog dan dialog, semakin tinggi pula tingkat legitimasi hasil dialog. Semakin tinggi legitimasi hasil dialog, semakin tinggi pula kemungkinan keberhasilan implementasinya.

Kedua, dialog harus mampu membuka ruang gerak kultural Orang Papua yang lebih besar sehingga suara-suara yang selama ini termarjinalkan akan memiliki ruang yang baik untuk mendefinisikan identitas kultural mereka yang beraneka warna. Ketiga, pemerintah harus menyadari wujud keragaman persepsi kultural Masyarakat Papua mengenai cara dan mekanisme dialog politik. Keragaman persepsi itu muncul sebagai dampak dari keberagaman budaya dalam pola kepemimpinan tradisional di Papua.

Negara harus memaknai ulang pemahaman kultural atas keragaman wajah Papua yang bervariasi tersebut, sehingga simplifikasi pendekatan elitis yang akan membuat dialog menjadi penuh syarat dan sempit tidak terjadi. Keempat, perlu diwujudkan sebuah dialog yang mengarah kepada tercapainya proses rekonsiliasi dan proses permintaan maaf atas kesalahan di masa lalu oleh pemerintah maupun masyarakat Papua. Dan Kelima, dialog harus mampu merekonstruksi paradigma negara yang melihat Papua selalu sebagai bangsa separatis yang mengusik keutuhan negara.

Pemunculan wacana gerakan separatisme oleh pemerintah pusat dinilai sebagai culture of fear yang mengancam jiwa nasionalisme Indonesia. Atas dasar itu, maka kerap kali kekerasan terhadap masyarakat Papua mendapatkan legitimasi negara. Pemahaman salah yang melanggengkan pelanggaran HAM tersebut tentu harus dikikis bahkan dihapuskan sama sekali.

Dengan demikian dengan kunjungan Presiden Jokowi untuk pertama kalinya ke Papua pada periode keduanya sebagai Presiden diharapkan dapat membawa kemajuan dalam penanganan konflik di Papua. Dengan berdialog langsung dengan masyarakat Papua khususnya di Wamena memberikan solusi dalam pembangunan perdamaian di Papua serta arah kebijakan yang benar-benar pro-Papua. Pembangunan tidak hanya bertumpu pada pembangunan infrastruktur tetapi harus sejalan dengan pembangunan manusia.

2. Peran Media dalam Pembangunan Perdamaian

Dalam situasi konflik, media dapat digunakan sebagai alat pembangunan perdamaian dan juga dalang dari kekerasan. Selama konflik di Papua, media (koran, radio dan internet) digunakan para pejuang separatis OPM untuk mempromosikan tujuan mereka. Salah satu yang menarik adalah kasus di Wamena 23 September 2019 yang lalu dimana konflik terjadi akibat "hoax". Kebijakan pembangunan yang diprioritaskan ke kawasan Indonesia Timur juga berdampak pada kemajuan teknologi. Masyarakat Papua dapat mengakses informasi dengan mudah.

Pers seharusnya memberikan informasi yang seimbang, sehat, serta menenangkan suasana dan bukannya malah memanas-manasi atau memprovokasi publik untuk ikut memperuncing sebuah konflik. Idealnya, pers atau media seharusnya menyediakan informasi yang jujur, jernih dan seluas mungkin mengenai apa yang layak dan perlu diketahui oleh masyarakat sehingga dapat membantu meredakan dan menyelesaikan konflik. Meskipun juga tidak dapat dimungkiri "kebanyakan" media masih saja memberitakan fakta-fakta terkait konflik dengan "membabi buta".

Media harus berusaha mencari angleangle yang menarik yang menjadi bagian dalam meredam konflik. Untuk itu, dalam memberitakan konflik yang bertujuan meredam konflik, media massa seharusnya lebih menekankan pada penggunaan prinsip peace journalism atau jurnalisme damai daripada war journalism atau jurnalisme perang. Jurnalisme damai diartikan sebagai jurnalisme yang berdiri di atas nama kebenaran yang menolak propaganda dan kebohongan di mana kebenaran dilihat dari beragam sisi tidak hanya dari sisi "kita" (Santosa, 2017).

Media massa harus dipandang sebagai intitusi yang bebas dari nilai dan menyampaikan realitas secara apa adanya. Media mempunyai kekuatan untuk mengkonstruksi realitas dalam masyarakat sehingga hal ini menjadikan media harus berimbang dalam melaporkan konflik, harus ikut mencegah konflik dan dapat mendorong terciptanya perdamaian dengan cara memfokuskan pemberitaannya dalam upaya-upaya perdamaian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bertikai.

Oleh karena itu, peran media sangat penting dalam rekonstruksi konflik di Papua. Penyebaran info mengenai budaya Papua serta nilai-nilai positif di Papua bisa memberikan pengaruh di masyarakat untuk lebih menghargai perbedaan. Dengan demikian, kita dapat melihat Papua adalah bagian dari kita tanpa membedakan ciri fisik atau budaya.

"Hitam Kulit, kariting rambut...Aku Papua, Aku Indonesia..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun