Mohon tunggu...
Nena Maing
Nena Maing Mohon Tunggu... Administrasi - Magister Ilmu Hubungan Internasional UMY

Seorang istri dan Ibu dari malaikat kecil Eilyn Kesu. 💕💕💕

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Konflik Papua dari Perspektif Budaya

14 November 2019   16:37 Diperbarui: 14 November 2019   16:38 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Operasi militer di Papua sejak Pemerintah menjadikan Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) memberikan memoria passionis (Bahasa Latin) yang berarti ingatan penderitaan bagi orang Papua. Orang Papua banyak yang merasa dilecehkan sebagai "manusia setengah binatang". Hal ini menyebabkan ujaran rasial menyangkut ciri fisik orang Papua yang terjadi sangat rentan menyulut konflik di Papua.

Satu hal yang juga menarik yang dapat menjadi peluang tetapi juga membahayakan adalah kebijakan pembangunan yang berorientasi pada strategi pertumbuhan yang berimplikasi pada pengrusakan lingkungan hidup, pengambilan tanah, pengrusakan hutan, pengrusakan dusun-dusun masyarakat serta degradasi kebudayaan masyarakat setempat.

Dari kacamata ekonomi adalah kemajuan dan akan membawa peningkatan ekonomi masyarakat Papua. Tetapi berbeda dengan pendekatan budaya, menurut Koentjaraningrat kebudayaan dibentuk dari 7 (tujuh) unsur diantaranya bahasa, sistem pengetahuan, sistem kemasyarakatan/organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem pencaharian hidup, sistem religi dan kesenian yang membentuk keseluruhan sistem gagasan dan tindakan dalam kehidupan termasuk dalam konflik.

Bagi masyarakat Papua yang hidupnya sangat bergantung dari alam dengan identitas adat yang sangat kuat, pembangunan bisa saja mengancam identitas mereka. Proses integrasi yang tidak mulus, ditambah lagi dengan pembangunan yang materialistik menciptakan krisis identitas bagi orang Papua. Krisis identitas nampak dalam aspek kebudayaan, ekonomi, birokrasi, pemerintah dan sebagainya. Maka muncul tuntutan untuk menghormati kebudayaan, pengembangan kebudayaan Papua Melanesia, Papuanisasi Birokrasi, penguasaan sumber daya ekonomi, maupun tuntutan agar Pemerintah mengakui lembaga adat. Hal ini harus menjadi perhatian yang serius dari pemerintah untuk perumusan kebijakan pembangunan yang tepat bagi Papua.

Dengan demikian, gagasan-gagasan mengunakan pendekatan budaya dalam penyelesaian konflik di Papua merupakan hal yang penting dalam upaya memanusiakan orang Papua seperti yang digagas Koentjaraningrat dahulu. Konflik Papua telah menoreh sejarah panjang di Indonesia. Pendekatan keamanan bukan satu-satunya jalan terbaik dalam menjaga kedaulatan, karena khusus untuk kasus Papua pendekatan budaya dirasa lebih tepat. Negara bukan simbol dari kekerasan tetapi kesejahteraaan, sehingga pernyataan yang menyatahkan bahwa keindonesiaan dianggap sebagai antitesis dari ideal kepapuaan yang diimpikan oleh banyak orang asli Papua dapat dipatahkan.

Pembangunan Perdamaian di Papua

Menurut Jhon Paul Lederach, "peace building" itu sebagai suatu konsep yang komprehensif yang mencakup, menghasilkan, dan memelihara suatu proses, pendekatan, dan tahapan yang diperlukan untuk mengubah konflik ke arah perdamaian secara berkelanjutan. Lebih jauh ia mengatakan bahwa perdamaian dipandang bukan hanya sebagai tahapan rekonstruksi perjanjian semata, namun ia adalah konstruksi sosial yang dinamis. Lederach juga mengatakan bahwa transformasi konflik ke damai harus dilakukan dengan pendekatan secara holistik dan menyeluruh dalam upaya mengelola setiap potensi kekerasan baru.

Artinya proses pembangunan perdamaian harus mewujudkan nilai-nilai negatif menjadi nilai-nilai positif. Pendekatan ini harus dilakukan dengan membangun hubungan antara pihak-pihak yang terlibat dalam dinamika konflik, baik hubungan dalam kontekspsikologi, spritual, relasi sosial, ekonomi, politik dan budaya. Perdamaian harus dicapai dari tiga arah, yaitu top-down, middle-out, dan juga bottomup, yang mana dapat diupayakan oleh masyarakat sipil (Lederach, 2012).

Dalam konflik di Papua jelas terlihat belum ada perdamaian khususnya pada level bottomup atau masyarakat grassroot. Dialog dan negosiasi dengan Pemerintah Pusat sudah dilakukan tetapi tidak dapat menghentikan gejolak yang terjadi di masyarakat karena dianggap dialog hanya melibatkan para petinggi dan "berbau" politik. Pembangunan perdamaian di Papua haruslah berasal dari masyarakat. Banyak pemikiran dan rekomendasi yang disampaikan oleh para peneliti maupun akademisi dalam penyelesaian dan pembangunan perdamian di Papua. Tetapi dalam tulisan ini, penulis lebih mengutamakan dua hal yaitu dialog Jakarta-Papua dan peran media dalam pembangunan perdamaian.

1. Dialog Jakarta-Papua

Dialog adalah jalan terbaik dalam penyelesaian konflik di Papua karena melihat budaya Melanesia yang mengutamakan musyawarah dalam mencari solusi konflik. Dialog harus terjadi diantara pihak yang berkepentingan. Dialog juga menjadi rekomendasi dari berbagai penelitian dan kajian tentang konflik Papua. Tetapi yang berbeda adalah dialog yang dibangun harus merujuk pada nilai-dilai budaya orang Papua. Dalam FGD antara LIPI, Forum Kajian Antropologi Indonesia (FKAI) dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) menyatahkan bahwa dialog merupakan cara yang baik untuk memperkuat keindonesiaan di Papua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun