Mohon tunggu...
Nena Maing
Nena Maing Mohon Tunggu... Administrasi - Magister Ilmu Hubungan Internasional UMY

Seorang istri dan Ibu dari malaikat kecil Eilyn Kesu. 💕💕💕

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Konflik Papua dari Perspektif Budaya

14 November 2019   16:37 Diperbarui: 14 November 2019   16:38 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa besar tidak luput dari sejarah panjang yang menyangkut konflik dan kekerasan. Persoalan kekerasan, konflik, bahkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi isu yang banyak mendapat perhatian baik secara nasional maupun dunia internasional. Salah satunya adalah Konflik di Papua yang saat ini mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Indonesia. Konflik Papua bukan merupakan hal baru, karena sudah lama terjadi di awal tahun 1961 saat Belanda berkeinginan membentuk negara Papua Barat yang terlepas dari Indonesia. Namun usaha Belanda ini mengalami kegagalan saat referendum (Penentuan Pendapat Rakyat/PERPERA) yang diadakan oleh PBB tahun1969, rakyat Papua memilih "tetap" bersatu dengan Republik Indonesia.

Konflik Papua pun terus berlanjut baik diakibatkan oleh kelompok "separatis"  pejuang kemerdekaan Papua atau yang disebut Organisasi Papua Merdeka (OPM) hingga konflik yang diakibatkan isu-isu rasial seperti yang terjadi di Surabaya dan Wamena saat ini. Konflik tersebut menyebabkan kerugian yang cukup besar akibat pembakaran bangunan mulai dari rumah warga, sarana publik hingga kantor-kantor institusi bahkan memakan korban jiwa baik dari penduduk asli Papua maupun para pendatang. Para aktivis kemerdekaan Papua mengambil kesempatan dari konflik ini untuk kembali menyuarakan isu referendum Papua pada Sidang Majelis Umum PBB. Konflik Papua menjadi ancaman bagi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Mengapa penanganan konflik Papua menjadi begitu lama dan berlarut-larut? Bagaimana Pendekatan budaya digunakan dalam penyelesaian konflik Papua? Bagaimana pembangunan perdamaian di Papua? Pertanyaan-pertanyaan ini selalu menjadi perbincangan dalam penyelesaian konflik Papua. Jawaban dari pertanyaan ini menjadi kajian penulis dalam upaya mengindonesiakan Papua. Konflik Papua sangat unik jika dibandingkan dengan "domestic conflict" yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Pembangunan di kawasan ini belum sepenuhnya mengikis kekerasan dan berbagai konflik termasuk tradisi kehidupan tribalisme masyarakat Papua.

Provinsi Papua dihuni oleh sekitar 250-an kelompok suku bangsa (etnis) dengan bahasa yang berbeda-beda, yang bentuk wilayah penyebarannya secara ekologis, geografis dan historis berbeda-beda antara wilayah pesisir pantai dan lembah, danau, pegunungan dan kepulauan. Keadaan ekologis-geografis ini menyebabkan tiap-tiap kelompok etnis mempunyai batas-batas wilayah, bahasa dan budaya yang secara ekologis, linguistik, dan etnografis yang berpengaruh terhadap tatanan sosial, politik dan ekonomi masyarakatnya.

Dengan demikian tidak menutup kemungkinan kelompok etnis tersebut mempunyai perbedaan kepentingan satu sama lain yang dapat menimbulkan konflik, friksi, bahkan perang suku berkepanjangan yang sering terjadi di Papua.

Seiring berjalannya waktu, konflik Papua mengalami transformasi. Mulai dari OPM yang awalnya memperjuangkan kemerdekaan menggunakan cara kekerasan berubah menjadi non-kekerasan dengan memanfaatkan dialog internasional dan media informasi. Walaupun tidak menutup kemungkinan penggunaan senjata masih menjadi pilihan untuk untuk perlindungan diri. Selain itu, isu konflik di Papua juga mengalami transformasi walaupun "kemerdekaan" tetap menjadi tujuan utama. Seperti halnya yang baru-baru ini terjadi di Surabaya dan Wamena yaitu ujaran rasial dan "hoax" terhadap masyarakat Papua yang mengakibatkan gejolak di Papua. Rasisme dan diskriminasi terhadap orang Papua semakin "memanaskan" konflik di Papua.

Pendekatan Budaya dalam Konflik Papua

Dalam sejarah perkembangan Ilmu Antropologi, Koentjaraningrat dikenal sebagai perintis ilmu budaya di Indonesia. Ia juga merupakan sosok ilmuwan Indonesia pertama yang melakukan penelitian budaya di Papua. Koentjaraningrat tidak hanya mempelajari budaya Masyarakat Asli Papua, namun juga merekomendasi kepada pemerintah untuk melakukan pendekatan budaya kepada provinsi yang baru bergabung dengan Indonesia di akhir tahun 60-an. Koentjaraningrat menilai bahwa pendekatan budaya merupakan cara yang paling tepat untuk meng-Indonesia-kan Papua sebagai salah satu provinsi muda. Hal ini sangat penting mengingat Papua memiliki budaya minoritas dan sejarah kebangsaan yang berbeda dengan daerah di Indonesia lainnya.

Papua secara umum dianggap sebagai orang Melanesia karena memiliki ciri-ciri sosial dan budaya yang sama dengan bangsa Melanesia di Asia Pasifik. Pendekatan orang Melanesia terhadap konflik dan penyelesaiannya adalah agak berbeda dengan orang Indonesia. Orang Melanesia mengekpresikan emosinya secara langsung dan masyarakatnya dibangun atas budaya "orang besar" (Big Man). Seseorang menjadi besar (Ketua) karena dia mempunyai kemampuan tertentu contohnya kemampuan berbicara, kepemimpinan, keahlian organisasi, kesejahteraan dan dipercaya untuk mendeklarasikan perang dan agen perdamaian.

Dari sudut pandang budaya, Dewan orang besar (Dewan Ketua) memainkan peranan penting dalam penyelesaian konflik. Orang Melanesia umumnya melakukan pendekatan musyawarah dalam penyelesaian konflik dan sama seperti orang Indonesia, hanya perbedaannya musyawarah adalah cara untuk mencari solusi bukan kesepakatan akhir. Dengan demikian, setiap orang harus didekati dan didengarkan sehingga mereka merasa kepemilikan dan pandangannya didengarkan dalam pengambilan keputusan.

Sejarah masuknya Papua menjadi bagian dari Negara Indonesia merupakan sebuah titik awal dari lahirnya konflik yang berkepanjangan. Proses yang dinilai penuh dengan penyimpangan, manipulasi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Pendekatan keamanan dengan melibatkan tentara untuk menghadapi sikap kritisnya orang Papua sudah menyimpang dari budaya orang Melanesia. Pengambilan keputusan saat PERPERA yang tidak melibatkan masyarakat Papua seluruhnya juga dianggap tidak sesuai dengan budaya Big Man tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun