Bila saya soroti Indonesia pada umumnya, belajar dalam kondisi normal dan konvensional saja, siswa masih mengeluh dan kurang berminat belajar di kelas karena kondisi dan keberadaan gurunya.
Sekolah bagi para siswa akhinya hanya menjadi rutinitas membosankan. Lalu, mendekati kenaikan kelas atau kelulusan baru konsentrasi hanya demi target naik dan lulus atau demi masuk jenjang pendidikan selanjutnya.
Nilai rapor dan ijazah pun tak mencerminkan kemampuan dan kompetensi asli siswa, terlebih masih sangat lekat masalah "ketidakjujuran" dalam proses mendapatkannya.
Atas kondisi ini, sudah sejauh mana Kemendikbud melihat kesiapan para guru untuk kembali mengampu pembelajaran dengan teknik DOV?
Sementara, berdasarkan hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) 2019 Â saja, guru yang memiliki kompetensi di atas rata-rata atau lulus UKG dengan nilai minimal 80 tak lebih dari 30 persen.
Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Dudung Nurullah Koswara menjelaskan, tak hanya guru, 70 persen dari total kepala sekolah juga belum memiliki kompetensi standar. Menurut dia, rendahnya kompetensi tersebut akibat  dari guru dan kepala sekolah sudah tak tertarik dengan tantangan membangun SDM berkualitas.
Terlepas dari kekurangsiapan dan kelemahan alat ukur UKG faktanya nilai kompetensi guru secara nasional kategorinya belum lulus. Kita harus jujur guru-guru yang kompeten memang banyak. Namun jauh lebih dominan adalah guru-guru yang tak kompeten," kata Dudung seperti saya kutip dari PikiranRakyat online di Jakarta, Kamis 22 Agustus 2019. Â
Untuk kondisi ini, maka menurut saya, UKG sebagai alat untuk mengukur kompetensi guru dan kepala sekolah masih banyak kelemahan. Meski, hasil UKG sejak tes ini diberlakukan, tetap saja guru yang tidak lulus boleh mengajar di kelas. Tahun berikutnya, tes UKG juga tetap seperti itu. Intinya, banyak yang harus kembali di bedah dalam diri UKG itu sendiri.
Karena, di lapangan, ternyata nilai UKG tak berbanding lurus dengan mutu dan kualitas guru. Bahkan banyak guru yang dalam penilaian UKG gagal, justru memiliki kompetensi mengajar yang baik, karena model interaksi kepada siswa yang tidak mungkin dapat diperdebatkan dengan model soal UKG yang jawabannya ditentukan pemerintah, namun di lapangan pilihan jawaban lain, malah kompetensi dan cara interaksi guru lebih berterima di hadapan siswa.
Selain itu, sama halnya dengan persoalan nilai siswa yang tinggi yang selama ini karena bisa saja direkayasa oleh siswa sendiri atau guru dan mengabaikan nilai kejujuran, maka nilai UKG yang rendah dan tinggi pun layak dipertanyakan kejujuran pangkal masalahnya.
Namun, pada intinya, memang harus diakui bahwa tingkat kompetensi dan profesionalisme serta kreativias dan daya inovatif sebagian besar guru-guru di Indonesia masih rendah. Apakah ini salahnya guru? Jawabnya pasti bukan. Lalu, ini salah siapa?Â