Mohon tunggu...
Siva NadiantiPutri
Siva NadiantiPutri Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis amatir

TERBENTUR, TERBENTUR, TERBENTUK!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sarat Akan Hal Mistik, Inilah Fenomena Kearifan Lokal di Kampung Naga

28 Desember 2019   16:06 Diperbarui: 28 Desember 2019   16:08 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Gunung teu meunang dilebur,

Larangan teu meunang ditempak,

Buyut teu meunang dirobah"

(Pikukuh Baduy)

Pertama  kali mendengar nama kampung ini, pasti yang terbayang di benak Anda adalah kampung bergaya Tionghoa yang dipenuhi ornamen-ornamen Naga, atau bahkan ada Naga raksasa yang hidup di perkampungan ini? Jawabnya tentu saja tidak, Naga raksasa hanya ada di film animasi. Lalu, apa yang membuat perkampungan ini diberi nama Kampung Naga? Tentu saja karena letaknya yang berada di bawah jurang. Asal kata "Naga" itu sendiri berasal dari bahasa Sunda yaitu "Na gawir" yang artinya "berada di jurang".

Secara administratif, perkampungan ini terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Tasikmalaya. Untuk sampai ke perkampungan ini pengunjung harus menuruni sekitar 300 anak tangga. Konon katanya, anak tangga yang terdapat di sana tidak diketahui pasti berapa jumlahnya, beberapa pengunjung yang datang seringkali menghitung dan hasilnya selalu berbeda. Masyarakat di sana pun juga tidak tahu pasti berapa jumlah anak tangga tersebut.

Perkampungan sejuk nan asri yang kental akan budaya dan adat istiadatnya ini menjadi daya tarik tersendiri untuk di eksplorasi. Seperti halnya budaya masyarakat Baduy, mereka juga sangat kuat dalam memegang adat istiadat dan menolak segala macam intervensi dari manapun termasuk dari pemerintah. Hal ini tidak lain hanyalah upaya untuk mempertahankan apa yang sudah mereka percaya sejak dulu.

Kata-kata pamali yang berbuah mitos dan pantangan ini terkadang menjadi lebih kuat posisinya ketimbang hukum adat setempat. Mitos dan pantangan yang dipercayai masyarakat Kampung Naga ini sebenarnya adalah representasi dari kearifan lokal Kampung Naga yang dikemas secara mistis agar tidak dilanggar. Lagi-lagi, ini hanyalah salah satu upaya untuk mempertahankan budaya yang ada.

PAMALI, "Tong kitu atuh, pamali."

Sudah sangat lumrah bagi masyarakat Kampung Naga untuk senantiasa selalu tunduk pada hukum adat setempat. Terlepas dari semua itu, pamali juga menjadi salah satu kiblat masyarakat Kampung Naga dalam berperilaku dan berinteraksi dengan alam sekitar. Seperti halnya pengertian kearifan lokal menurut Clifford Geertz pakar antropologi dari Amerika Serikat yang mengatakan bahwa, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Dalam hal ini, berarti pamali adalah salah satu representasi dari kearifan lokal di Kampung Naga.

Salah satu bentuk pamali di Kampung Naga adalah kepercayaan masyarakat Kampung Naga akan alam yang sarat dengan kekuatannya dalam mendukung keberlangsungan hidup setiap makhluk. Misalnya, pamali mengotori air sungai dengan sabun atau pamali mengambil ikan dengan racun karena ditakutkan alam akan marah dan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang sarat akan kemistisan. Beberapa masyarakat lokal yang menjadi narasumber saat diwawancarai pun selalu menyelipkan kalimat yang mengandung filosofi menyatu dengan alam, "Ingat!, kita bukan hanya hidup di alam, kita hidup bersama alam."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun