Mohon tunggu...
Siti LailatulMaghfiroh
Siti LailatulMaghfiroh Mohon Tunggu... Guru - Halo hai!

Sedang belajar mencintai menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Talentaku Vs Hukum Agamaku

25 September 2020   16:28 Diperbarui: 25 September 2020   16:41 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: my.theasianparent.com

"Gak berani takut dosa"

Sekilas ungkapan kegundahan hatinya. Dia Rita, salah satu teman adekku di Taman Kanak-kanak. Sejak lahir dia sudah tertarik dengan dunia menggambar. 

Lipstik ibunya merupakan salah satu sasaran empuk untuk menyalurkan separuh dunianya. Hasil coretannya berupa gambar manusia. Awalnya talenta bawaan itu terasah dengan baik. Ia berani menunjukkan kemampuan yang ia miliki di depan orang lain, hingga sering mengikuti perlombaan dan memborong beberapa trofi. Orangtuanya pun mengarahkan apa yang ia senangi tanpa menuntut ini itu.

Akan tetapi, sejak ia duduk di bangku TK Kelompok B, terpaksa ia harus melupakan talenta yang telah lama ia geluti. Peringatan keras dari orang-orang di sekelilingnya yang mengatakan bahwa aturan dalam Islam, jika menggambar manusia di akhirat kelak kita harus memberikan nyawa. 

Aturan tersebut cukup membuat begidik teman adekku ini. Hingga ia benar-benar berusaha melupakan ciri khas yang ada dalam dirinya dengan bantuan keluarganya juga. 

Bagi anak yang masih berusia 4-7 tahun. Keadilan dan aturan-aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh berubah dan lepas dari kendali manusia. Seperi hasil observasi dan wawancara yang dilakukan oleh Piaget pada anak yang berusia 4 hingga 12 tahun. 

Piaget memperhatikan anak-anak yang sedang bermain kelereng. Piaget juga mengamati bagaimana cara berpikir mereka pada aturan-aturan permainan. Ia juga menanyakan beberapa isu etis seperti berbohong, mencuri, hukuman dan keadilan. Dan hasilnya anak berusia 4-7 tahun menilai kebenaran perilaku dari konsekuensi perilaku tersebut, bukan berdasarkan tujuan dari perilaku. Dan hal ini dinamanakan Penalaran Moralitas Heteronom. 

Berbeda dengan anak yang mengembangkan penalaran moralitas otonom, tujuan dijadikan sebagai hal penting dalam perilaku. Jika dilihat dari cerita Rita, bisa dikatakan ia mengembangkan penalaran moralitas heteronom karena waktu itu masih berusia 5 tahun. Berbeda jika ia telah berusia 10 tahun ke atas, ia akan mengembangkan penalaran moralitas otonom. 

Para penalar heteronom juga berkeyakinan bahwa aturan tidak dapat diubah selain yang berkuasa sepenuhnya. Mereka juga percaya jika ada seseorang yang mencoba melanggar aturan itu, keadilan pasti akan menghukum orang tersebut. Anak kecil berkeyakinan bahwa sebuah penyimpangan secara otomatis berkaitan dengan hukuman. 

Seperti yang dijelaskan dalam hadist Ibnu Umar radhiallahu'anhuma, bahwa Rasulullah Shallahu'alaihi Wasallam bersabda:

"Orang-orang yang menggambar gambar-gambar ini (gambar makhluk bernyawa) akan di adzab dihari kiamat, dan akan dikatakan pada mereka: 'hidupkanlah apa yang telah kalian buat ini'" (HR. Bukhari dan Muslim)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun