Bicara mengenai isu kenaikan harga mie instan, sontak membuat jagat maya dipenuhi kekhawatiran warganet. Terang saja, mie instan selain berperan sebagai "penyelamat" di tanggal tua, juga dapat menghangatkan badan ketika kita berada dalam perjalanan. Tidak perlu melakukan survey untuk menganalisis kecintaan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap mie instan. Kita cukup menengok warung terdekat dari tempat kita, dan melihat apakah warung tersebut menyediakan atau menjual mie instan?
Jawabannya, tentu saja. Sektor utama yang paling cepat laris terjual, tentu saja komoditas olahan tepung yang satu ini. Keunggulan mie instan sudah tertera pada namanya yang dibubuhi kata "instan". Sekalipun banyak dari pakar kesehatan yang menyarankan agar tidak terlalu sering mengonsumsi mie instan, namun apa daya?
Komoditas panganan cepat saji ini paling diminati, kok. Selain karena cara penyajian yang instan, harga yang dibanderol untuk menikmati sebungkus mie instan tidak semahal harga seliter beras, misalnya. Varian rasa yang ditawarkan berdasarkan kuliner lokal Nusantara juga memberikan sensasi "makan mie" dengan citarasa yang berbeda-beda.
Produk olahan tepung atau komoditas pangan mana lagi yang dapat menandingi keunggulan mie instan?
Sebagai rakyat yang diupah setara dengan UMK, menikmati mie instan masih menjadi suatu kemewahan. Apalagi ketika bertamasya ke puncak gunung atau sedang berkemah di hutan, mie instan merupakan "bekal wajib" atau "makanan pokok" yang paling pertama dicari untuk menunda lapar.
Lagi-lagi, siapa yang dapat menolak daya tarik mie instan?Â
Kecuali, tentu saja soal kenaikan harganya.
Banyak warganet yang berang karena kebahagiaan kecil untuk dapat menikmati kuliner khas Nusantara, kini terancam harus ditebus dengan harga yang lebih mahal dari biasanya. Apakah ini bukan upaya kapitalisasi negara?
Setelah komoditas olahan CPO, minyak goreng yang "dibuat" langka di pasaran, kini negara mulai mengatur regulasi mengenai harga jual mie instan.
Menanggapi isu ini, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyatakan bahwa kenaikan harga mie instan merupakan imbas dari penyerbuan militer Rusia ke Ukraina. Sebagai salah satu negara penghasil gandum terbesar di dunia, diperkirakan sekitar 180 juta ton gandum tidak dapat diekspor dari Ukraina.Â
Berbeda dengan pernyataan dari Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan yang menyatakan bahwa kenaikan harga mie instan tidak sampai 3x lipat. Melonjaknya harga gandum di pasar dunia disebabkan oleh minimnya pasokan gandum yang diakibatkan oleh perang Rusia-Ukraina.