Mohon tunggu...
Siti Farina
Siti Farina Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Nilai Komersial dalam Dunia Pertelevisian

11 Desember 2018   22:57 Diperbarui: 11 Desember 2018   23:19 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Televisi merupakan saluran utama dan perwujudan suatu kebudayaan, sebagai gambaran realitas sosial dari identitas sosial, gagasan, kepercayaan, dan nilai-nilai. Sebagai salah satu jenis media massa yang paling populer, televisi membentuk cara berfikir masyarakat, menyebarkan pesan yang merefleksikan kebudayaan dalam masyarakat, dan menyediakan informasi bagi masyarakat yang beragam ( McQuail (2005: 4)

Prinsip-prinsip dasar sistem penyiaran Indonesia dapat dicermati dalam Undang-Undang Penyiaran No.32 tahun 2002. Undang-undang ini resmi berlaku tanggal 28 Disember 2002 dan menganut sistem penyiaran lokal berjaringan. Selain itu undang-undang ini mengenalkan sebuah lembaga independen bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di tingkat pusat dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) untuk mengatur sistem penyiaran Indonesia.

Hadirnya KPI sebagai lembaga independen (bukan pemerintah, atau pelaku penyiaran atau siapapun yang berkepentingan secara langsung) yang berfungsi sebagai pengatur  dunia penyiaran merupakan langkah maju dalam sistem penyiaran Indonesia. Di berbagai negara, lembaga semacam ini juga ditemukan untuk mengatur penyiaran.

Tayangan-tayangan bermasalah yang muncul di televisi merupakan ekses dari kebebasan bermedia yang muncul sejak masa reformasi. Jika pada era sebelumnya, isi televisi lebih banyak ditentukan oleh negara (state-centered)  maka di era setelahnya isi penyiaran ditentukan oleh pasar (marked-centered). Harapan agar isi televisi dan media penyiaran lainnya lebih berorientasi pada publik (public centered), masih menjadi agenda besar dalam penyiaran Indonesia. Fenomena tayangan bermasalah tersebut menunjukkan salah satu bukti bahwa televisi sepenuhnya menjadi alat kapitalisme yang berorientasi pasar.

Pada era ini, industri penyiaran televisi mengalami peralihan dari state regulation menuju market regulation  (Sudibyo, 2004: 349). Dalam konteks ini, televisi Indonesia menjadikan nilai-nilai komersial sebagai orientasi utama dan memandang khalayak sebagai konsumen. Hal ini sejalan dengan pandangan Granville Williams (Burton, 2000: 15-16) tentang peran dan fungsi media dalam masyarakat yang dominan. Televisi telah berorientasi pasar, ada tuntutan-tuntutan produksi yang tidak seimbang dengan kapasitas produksi stasiun-stasiun televisi dan industri penopangnya. Ada masalah sumber manusia, teknologi dan keuangan yang menghambat proses pemenuhan tuntutan pasar. Persoalan yang muncul kemudian adalah homogenisasi isi media.

Jika di era sebelumnya, homogenisasi isi media terjadi karena monopoli pemerintah, maka pada era pasca reformasi homogenisasi isi media terjadi karena rasionalitas sebanyakbanyaknya produksi dan konsumsi dalam sebuah era yang mengarah pada kediktatoran pasar (market dictatorship). Televisi menyajikan artefak-artefak budaya populer dengan jenis, model dan kualitas yang nyaris seragam dan sukar dibedakan satu dengan yang lain (Sudibyo, 2004: 348-349).

Struktur industri televisi Indonesia saat ini mengarah pada struktur konglomerasi dengan semangat liberalisasi dan kapitalisme sebagai ruhnya. Kekuatan kapitalisme yang mencengkeram industri televisi secara sangat jelas telah ikut berpengaruh pada kualitas tayangan. Walaupun suatu tayangan dinilai tidak bermutu, tetapi laku di pasar karena mendatangkan iklan berlimpah, akan dipertahankan untuk ditayangkan di televisi.

Tayangan-tayangan bermasalah dalam televisi Indonesia yang diwakili oleh program-program yang mengandung kekerasan dan sadisme, pornografi, seksualitas, mistik dan supranatural, hingga pelanggaran terhadap sopan santun dan moralitas, merupakan representasi dari realitas budaya. Pergeseran nilai-nilai budaya dalam masyarakat, termasuk dalam organisasi dan pekerja media,  ikut memberikan andil terhadap maraknya tayangan-tayangan bermasalah tersebut.

Lalu mengapa tayangan-tayangan tersebut masih ada sampai saat ini ? seperti halnya perusahaan-perusahaan pada umumnya yang menginginkan dirinya memiliki nilai jual yang tinggi dan menjadi market leader. Industri peretelevisian juga menginginkan dan membutuhkan hal-hal semacam itu, mengingat perkembangan teknologi di bidang industri pertelevisian yang semakin canggih, membuat industri pertelevisian harus bisa mengikuti kemajuan teknologi tersebut dan menuntut mereka untuk mendapatkan keuntungan materi sebanyak mungkin. Dalam hal ini melihat biaya alat produksi program yang semakin mahal membuat mereka harus menayangkan program yang memiliki rating tertinggi, walau terkadang tidak memiliki pesan informasi yang edukatif. padahal fungsi televisi tu sendiri adalah untuk memberikan informasi serta tayangan-tayangan yang edukatif dan mengandung nilai sosial dan budaya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun