Mohon tunggu...
Siti Fauziyah Sabilah
Siti Fauziyah Sabilah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Ketika saya berpikir maka saya ada -Descartes

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Foto Tara Basro: UU ITE Mengapa "Bias" Terhadap Perempuan?

12 April 2021   13:00 Diperbarui: 13 April 2021   14:00 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Dimasa sekarang, peran perempuan sepertinya menjadi sosok vital dalam kehidupan, tetapi bila dicermati lebih jauh, sosok Perempuan dengan ketubuhannya acapkali dijadikan sebagai obyek dalam budaya populer saat ini, tidak lagi sebagai subyek bagi dirinya sendiri. Sehingga dinilai bahwa tubuh perempuan tidak berdaya walaupun dalam pandangan feminis liberal perempuan memiliki hak atas tubuh nya dalam mengekspresikan dirinya. Namun, hadirnya Undang-Undang pornografi di Indonesia seolah bukan mengatur tentang hukum industri pornografi, tetapi seakan mengatur tubuh seseorang.  

Sejak dulu, perempuan sudah menjadi korban dari kejahatan Patriarki dan Kapitalisme, belum lagi yang terbaru kekerasan berbasis gender secara tidak langsung terjadi dari adanya penerapanUU ITE Pasal 27 Ayat 1 yang merugikan pihak perempuan. Kali ini tema ketubuhan perempuan yang dipersoalkan dinilai telah melanggar pasal 27 ayat 1 tentang Undang-Undang ITE, dimana pasal tersebut menyatakan bahwa : "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan". 

Namun, kelemahan terhadap pasal tersebut semakin jelas terlihat ketika kita mencoba menafsirkan maksud dari kata "kesusilaan" dalam UU ITE pasal 27 ayat 1. Dalam hal ini seperti apa yang dimaksud tindak kesusilaaan? Lalu apakah kesusilaan selalu berdasar pada tubuh perempuan? Ini lah yang menjadikan pemahaman pasal ini masih multitafsir dan bias gender karena yang terintimidasi dan dirugikan adalah perempuan. Selain itu, hak-hak atas perempuan seperti kebebasan berekspresi bagi kaum perempuan seakan di hadang oleh adanya pasal tersebut. Terlebih, sejauh ini rasanya belum ada tubuh laki-laki yang dipersoalkan melanggar dan mengandung unsur kesusilaan. Pasal tersebut dianggap justru menyerang kelompok yang seharusnya dilindungi dan penerapan nya masih berbasis diskriminasi gender yang merugikan perempuan. 

Fenomena kekerasan gender tergambarkan di media sosial beberapa waktu lalu, yaitu dari adanya kasus foto Tara Basro yang merupakan contoh dimana kebebasan berekspresi di  media sosial dilarang dan dikritik oleh Kominfo menggunakan pasal 27 ayat 1 Undang- Undang ITE yang menilai bahwa foto Tara mengandung unsur kesusilaan. Dalam hal ini, Tara Basro memposting foto pribadinya yang menampilkan bentuk tubuhnya yang terdapat lipatan di bagian perut dan selulit sebagai bentuk kebebasan berekspresi dengan tema bagian tubuh. Apa yang dilakukan oleh Tara Basro sebenarnya adalah bentuk usahanya dalam mengkampanyekan body positivity yang mengajak kepada dirinya dan orang-orang untuk mencintai tubuh mereka sendiri meski dengan segala kekurangannya.  

Istilah body positivity merujuk nama organisasi yang membantu menyembuhkan orang-orang dari tekanan sosial akibat bentuk tubuhnya, Body Positive. Organisasi itu didirikan Elizabeth Scott dan Connie Sobczak pada 1996 di Amerika Serikat. Lantas, organisasi tersebut menginspirasi gerakan body positivity di media sosial dan situs web.  

Alexandra Sastre (2016) dalam bukunya menulis, bahwa untuk memahami body positivity tergantung penyaringan pesannya, pemeriksaan bagaimana pesan itu dipraktikkan, serta bagaimana body positivity tersebut dilakukan melalui kalimat dan gambar dalam ruang media digital. Konsep body positivity menekankan penggabungan fotografi sebagai saluran keberadaan tubuh, dengan visibilitas dan cinta diri sebagai tujuan akhir. 

Dalam hal ini semakin jelas, bahwa unggahan Tara Basro sudah sesuai dengan konsep body positivity. Tara menggunakan foto tubuhnya sebagai bentuk ekspresi nya yang di posting melalui media sosial disertai dengan kalimat caption positif yang ia tulis untuk mengajak orang lain untuk mencintai tubuhnya sendiri sebagai tujuan akhir. Namun, Kominfo telah menilai foto Tara Basro berpotensi melanggar kesusilaan, tanpa terlebih dahulu melihat konteks apa yang disampaikan dalam foto. Akibatnya setelah unggahan nya ramai dan menimbulkan polemik, Tara Basro memilih untuk menghapus postingan nya dari media sosial. 

Apa yang dilakukan oleh Kominfo terhadap Tara Basro dapat disebut sebagai bentuk intimidasi terhadap perempuan yang ingin mengekspresikan hak atas tubuhnya dengan menggunakan UU ITE pasal 27 Ayat 1 tentang kesusilaan sebagai ancaman. Padahal pada  kenyataannya, pada foto yang di posting oleh Tara Basro tidak memperlihatkan kemaluan nya, dan Tara tidak sedang menjual tubuhnya untuk dipertontonkan atau memancing gairah. Hal ini tentu juga tidak sesuai apabila dikenakan UU Anti Pornografi yang menyebutkan "sesuatu disebut produk pornografi apabila terdapat unsur ketelanjangan atau yang mengesankan ketelanjangan". 

Tubuh perempuan bukan sesuatu yang tabu, melainkan hal yang positif. Perempuan mempunyai hak untuk mengapresiasi dan mengekspresikan tubuhnya sendiri. Menurut Mulia Musdah dalam bukunya yang berjudul "Mengupas Seksualitas" menyebutkan, bahwa dalam mempromosikan hak-hak seksual dalam kehidupan bermasyarakat ada 3 hal yang menjadi hambatan : 

1. Hambatan kultural atau budaya. Budaya patriarki di masyarakat masih memandang perempuan sebagai objek seksual.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun