Mohon tunggu...
Shishi Amelia
Shishi Amelia Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta

Saya adalah Mahasiswa dari Universitas Negeri Jakarta yang sedang menjalani program studi Pendidikan Sosiologi angkatan 2023.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pinjol Sebagai Candu Baru Dalam Gaya Hidup Instan Pemuda

29 Juni 2025   12:32 Diperbarui: 29 Juni 2025   12:51 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Shishi Amelia, Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Jakarta

Latar Belakang Masalah

Di tengah derasnya arus digitalisasi, generasi muda Indonesia terutama generasi Z, berada pada pilihan antara peluang besar dan jebakan gaya hidup konsumtif. Era digital saat ini tidak hanya menghadirkan kemudahan akses informasi dan teknologi, tetapi juga membuka peluang bagi pola hidup konsumtif yang berpotensi menjebak generasi muda pada masalah finansial yang serius. Fenomena pinjaman online (pinjol) menjadi salah satu contoh nyata bagaimana kemajuan teknologi keuangan dapat memengaruhi perilaku ekonomi generasi Z.

Melalui media sosial, generasi muda dengan mudah terekspos pada beragam konten gaya hidup, mulai dari penampilan mewah selebritas hingga tren "healing" di kafe estetik. Sayangnya, standar gaya hidup yang dipertontonkan di media sosial sering kali menjadi tolok ukur validasi diri yang kemudian menimbulkan tekanan sosial. Bagi sebagian pemuda, kebutuhan untuk terlihat "kekinian" bukan lagi keinginan semata, melainkan menjadi kebutuhan sosial agar diakui di lingkar pergaulan virtual maupun nyata. Meskipun apa yang ditampilkan di media sosial seringkali hanyalah tampilan luar semata dan belum tentu mencerminkan kondisi finansial yang sebenarnya, banyak anak muda tetap termakan oleh pola konsumtif tersebut. Hal ini terjadi karena standar hidup 'wah' yang mereka lihat setiap hari akhirnya terinternalisasi dan dianggap sebagai realitas yang normal. Frasa 'namanya juga anak muda' seolah menjadi pembenaran untuk menjalani gaya hidup tanpa perhitungan. Akibatnya, berbagai cara pun dilakukan demi menjaga citra, meskipun harus mengorbankan stabilitas keuangan mereka sendiri

Bagi sebagian pemuda, tuntutan untuk tampil "sempurna" di dunia maya menjadi tekanan sosial tersendiri. Tekanan ini berkelindan dengan fenomena Fear of Missing Out (FOMO) dan Fear of Other People's Opinion (FOPO), di mana rasa takut ketinggalan tren atau takut dihakimi oleh lingkungan mendorong mereka melakukan berbagai cara untuk mengejar standar sosial tersebut. Di sinilah pinjaman online (pinjol) muncul sebagai "jembatan" instan untuk menutup kesenjangan antara keinginan dan kemampuan.

Berbagai iklan pinjol kini marak di YouTube, Instagram, TikTok, dan aplikasi sehari-hari. Iklan-iklan ini menjanjikan pinjaman cepat cair, syarat mudah, dan proses tanpa ribet. Dalam kondisi ekonomi yang rapuh serta diperburuk oleh literasi keuangan yang rendah karena itu pinjol menjadi jalan pintas yang terlihat menggiurkan. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa tren penggunaan pinjol di kalangan anak muda mengalami peningkatan yang signifikan. Sekitar 58 persen generasi Z menggunakan pinjaman online untuk keperluan konsumtif seperti membeli gadget terbaru, barang bermerek, atau sekadar hangout di tempat hits (OJK, 2025). Fenomena ini menandakan adanya pergeseran pola perilaku konsumsi yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan primer beganti untuk memenuhi kebutuhan tersier. Ironisnya lagi, sebagian besar pengguna pinjol berasal dari kalangan mahasiswa dan pekerja muda yang belum memiliki kestabilan finansial dan kurangnya kemampuan mengelola keuagan dengan bijak. Masih banyak kalangan tersebut yang sebenarnya belum mampu membuat anggaran keuangan secara jelas untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Hal ini kemudian menjadi tantangan besar bagi pemerintah, lembaga pendidikan, dan keluarga untuk membangun kesadaran literasi finansial dan pola hidup bijak di kalangan generasi Z.

Tentu saja, berutang sebenarnya bukanlah jalan terbaik, apalagi jika tujuannya hanya untuk memenuhi kebutuhan tersier yang sifatnya musiman dan terus berganti setiap tahun. Sayangnya, banyak anak muda tetap tergoda dengan iming-iming kemudahan pinjol tanpa memikirkan risiko jangka panjang. Tidak sedikit cerita tragis bermunculan akibat pinjaman online ini---mulai dari stres berat, rasa cemas berlebihan, konflik keluarga, hingga berujung pada tindakan kriminal atau bahkan bunuh diri karena tidak sanggup menanggung tekanan utang. Belum lagi adanya ancaman blacklist di Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) yang membuat catatan finansial mereka tercoreng seumur hidup. Jika sudah masuk daftar hitam, masa depan finansial bisa tertutup rapat---mereka bisa gagal mendapatkan kredit rumah, kendaraan, modal usaha, atau bahkan ditolak melamar pekerjaan formal hanya karena catatan pinjol di masa muda. Hal ini menjadi bukti bahwa keputusan finansial yang diambil secara gegabah hari ini dapat berakibat panjang dan merugikan di masa depan. Oleh karena itu, penting bagi generasi muda untuk belajar menahan diri dan menyadari bahwa hidup sederhana sesuai kemampuan adalah langkah awal menuju kebebasan finansial

Analisis Sosiologi

Secara sosiologis, fenomena pinjol di kalangan pemuda tidak dapat dilepaskan dari beberapa faktor struktural dan kultural yang saling terkait. Dalam perspektif Durkheimian misalnya, perilaku menyimpang seperti konsumsi berlebihan dengan meminjam uang secara instan dapat dikaji melalui konsep anomie. mile Durkheim, salah satu pendiri sosiologi modern, memperkenalkan konsep anomie untuk menjelaskan kondisi sosial di mana norma dan aturan yang mengatur perilaku individu menjadi kabur atau melemah. Akibatnya, individu kehilangan arah, merasa tercerabut dari masyarakat, dan berpotensi melakukan tindakan-tindakan yang merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.

Dalam konteks fenomena pinjaman online di kalangan Generasi Z, anomie muncul akibat transisi cepat masyarakat ke era digital yang tidak diiringi dengan penyesuaian nilai-nilai sosial dan kontrol moral yang memadai. Durkheim pada awalnya menggunakan konsep ini untuk membahas bunuh diri, namun esensinya bisa diterapkan pada perilaku ekonomi yang 'abnormal' juga, seperti perilaku konsumtif berlebihan melalui pinjol.

Durkheim berpendapat bahwa modernisasi seringkali menciptakan ketidakseimbangan antara aspirasi individu dengan sarana untuk mencapainya. Pada masyarakat tradisional, solidaritas mekanik membuat norma lebih jelas karena ikatan sosial yang kuat. Namun dalam masyarakat modern yang kompleks, ikatan ini melemah, solidaritas berubah menjadi organik, dan norma lama perlahan kehilangan daya ikatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun