Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Optimalkan Diskusi di Kelas untuk Tumbuhkan Nalar Kritis dan Komunikatif Mahasiswa Generasi Z

23 Februari 2023   20:23 Diperbarui: 23 Februari 2023   20:29 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kelas C8 Manajemen 2021 Universitas Teknologi Digital (Dokpri)

Sejak berada di bangku Sekolah Dasar (SD), guru sudah menanamkan bahwa manusia membutuhkan interaksi dengan orang lain. Realitasnya, manusia memang tidak bisa hidup tanpa adanya campur tangan orang lain. Dalam memenuhi kehidupan sehari-hari saja kita sebagai manusia tidak bisa melengkapi kebutuhan primer secara mandiri. Repot sepertinya jika seseorang harus menanam padi sendiri terlebih dahulu untuk bisa memenuhi isi perutnya. Kita membutuhkan petani, distributor, penjual bahkan tukang masak hanya untuk sesuap nasi.

Seseorang yang memutuskan untuk tidak memiliki sosial media karena berbagai alasan pun, bukan berati bisa lepas dalam kegiatan komunikasi. Memang ada diantara kita yang tidak nyaman jika berada dalam keramaian. Lebih menyukai lingkungan yang sepi dan mungkin merasa hanya ingin hidup sendiri.

Sebagai manusia yang mempunyai iman, tentu akan ada kalanya berkomunikasi dengan Tuhan. Mencurahkan isi hati ataupun meminta pertolongan. Selain berinteraksi dengan Tuhan, manusia juga butuh untuk berdialog dengan dirinya sendiri. Diantara kita mungkin ada yang menjadikannya sebagai ritual menjelang tidur.

Baru saja terbangun dari tidur, aktivitas yang pertama dilakukan adalah mengecek notifikasi pada ponsel. Mencari-cari apakah ada seseorang yang mengabari di WhatsApp. Bahkan mungkin semalaman tidak bisa tidur karena menunggu balasan dari teman, client, atasan, rekan bisnis, atau mungkin kekasih hati.

Pada dasarnya, komunikasi adalah aktivitas yang dipraktikkan mulai dari sejak dini. Layaknya bayi yang baru lahir, lalu perlahan belajar berbicara. Meski demikian tidak semua orang mampu berkomunikasi dengan baik. Perlu diingat adalah kemampuan berbicara seseorang tidak akan sama dengan yang lain. Tentunya hal tersebut dilatarbelakangi oleh banyak faktor, terutama faktor lingkungan. Anak akan banyak menghabiskan waktunya di lingkungan rumah dan sekolah. Lingkungan tersebutlah tempat di mana sang anak lebih lama mempraktikkan aktivitas komunikasi.

Konsep pendidikan di SD, SMP, dan SMA cenderung monoton dan tidak melatih kemampuan berbicara. Saat SD, siswa hanya dicekoki mengisi LKS (Lembar Kerja Siswa). Bahkan saat ulangan pun, soalnya sama persis seperti pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam LKS. Menjelang SMP, hanya ada beberapa praktik yang melatih kepercayaan diri siswa berbicara di depan kelas. Begitu juga dengan SMA. Berkaca dari fenomena tersebut, melatih komunikasi seseorang tidak cukup hanya terpaku pada kegiatan mengajar di dalam kelas. Mengandalkan pembelajaran dalam kelas di sekolah tidak akan mengembangkan kemampuan berbicara seseorang. Mayoritasnya, kemampuan komunikasi akan berkembang saat berkegiatan di luar akademik, seperti mengikuti ekstrakulikuler. Namun perlu diingat bahwa tidak semua siswa memiliki minat untuk aktif di luar kegiatan akademik dengan berbagai alasan. Bukan karena malas, tapi mungkin karena jarak rumah yang jauh dari sekolah mengharuskan sang anak pulang tepat waktu agar tidak ketinggalan angkutan umum.

Sama halnya dengan di SMA, kemampuan komunikasi mahasiswa dapat semakin terasah bila berkegiatan dalam organisasi mahasiswa (ormawa). Apalagi dalam dunia kampus, ormawa menjadi ruang bebas berekspresi bagi mahasiswa. Lagi-lagi ada yang perlu diingat bahwa masih banyak ormawa yang ruang pergerakannya masih terbatas. Mulai dari fasilitas, dukungan pihak kampus, kesadaran lingkungannya dan masih banyak faktor yang membatasi mahasiswa meningkatkan nalar kritis dan kemampuan komunikasi di ormawa.

Jangan jauh-jauh membicarakan ormawa yang masih penuh keterbatasan, mahasiswa yang bermodal kuliah-pulang tidak akan mendapatkan pengalaman lebih dalam melatih kemampuan berbicaranya. Alih-alih dapat meningkatkan komunikasi saat di bangku kuliah, nyatanya masih ada dosen yang mendikte mahasiswanya. Sekadar berbicara di depan kelas, layaknya anak SMA yang mendengarkan gurunya menerangkan materi mata pelajaran.

Dosen yang selama 2 atau 3 sks full menyampaikan materi tanpa jeda, tanpa ruang, tanpa adanya kesempatan bagi mahasiswa, sudah tidak relevan diterapkan dalam kelas-kelas yang mayoritas mahasiswanya ada dalam Generasi Z. Generasi Z adalah generasi yang lahir dalam rentang tahun 1996 sampai dengan tahun 2009. Seluruh perguruan tinggi di Indonesia saat ini sedang dihuni oleh mahasiswa Generasi Z.

Dikutip dalam kemendikbud.go.id bahwa dalam artikel Bruce Tulgan dan Rainmaker Thinking, Inc. berjudul "Meet Generation Z: The Second Generation within The Giant Millenial Cohort"  menemukan lima karakteristik utama Gen Z yang membedakannya dengan generasi sebelumnya. Pertama, media sosial adalah gambaran tentang masa depan generasi ini. Karakteristik kedua, bahwa keterhubungan Gen Z dengan orang lain adalah hal yang terpenting. Ketiga, kesenjangan keterampilan dimungkinkan terjadi dalam generasi ini. Ini yang menyebabkan upaya mentransfer keterampilan dari generasi sebelumnya seperti komunikasi interpersonal, budaya kerja, keterampilan teknis dan berpikir kritis harus intensif dilakukan. Keempat, kemudahan Gen Z menjelajah dan terkoneksi dengan banyak orang di berbagai tempat secara virtual melalui koneksi internet, menyebabkan pengalaman mereka menjelajah secara geografis, menjadi terbatas. Terakhir, keterbukaan generasi ini dalam menerima berbagai pandangan dan pola pikir, menyebabkan mereka mudah menerima keragaman dan perbedaan pandangan akan suatu hal. (https://pskp.kemdikbud.go.id/produk/artikel/detail/3133/gen-z-dominan-apa-maknanya-bagi-pendidikan-kita)

Dalam dunia pendidikan, perubahan-perubahan karakteristik setiap generasi harus disesuaikan pula dengan pola mengajar yang tepat. Kemajuan teknologi yang semakin pesat memang terlihat membuat semuanya lebih mudah, tetapi kemajuan tersebut membuat tantangan juga semakin bertambah. Generasi Z yang saat ini menjadi mayoritas penduduk di Indonesia memiliki tanggung jawab yang lebih berat akan hadirnya dunia digital yang berada dalam genggaman. Pola mengajar yang disesuaikan dengan karakteristik Generasi Z bukan serta merta hanya untuk membuatnya pintar, tetapi juga membentuk karakter yang siap dengan dunia digital. Sudah saatnya ada pergeseran paradigma baru dalam kegiatan belajar di bangku kuliah. Dosen perlu memberikan kesempatan mahasiswa untuk mencari sumber di luar apa yang Dosen berikan. Mahasiswa perlu diberi ruang untuk bertanya, berdiskusi, menyampaikan pendapatnya di dalam kelas. Tugas-tugas sudah tidak relevan lagi dengan model-model pertanyaan pilihan ganda ataupun esai singkat. Kolaborasi dengan teman, terjun langsung ke lapangan, dan membuka ruang-ruang diskusi lebih sesuai dengan karakteristik mahasiswa Gen Z.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun