Mohon tunggu...
Hasna A Fadhilah
Hasna A Fadhilah Mohon Tunggu... Administrasi - Tim rebahan

Saya (moody) writer. Disini untuk menuangkan unek-unek biar otak tidak lagi sumpek.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"The Question Word We Came to Dread: When?"

16 Januari 2018   11:59 Diperbarui: 16 Januari 2018   16:20 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia dengan sistem masyarakatnya yang komunal memiliki cara sendiri ketika bertegur sapa atau pun basa-basi (sebagian besar orang sih, nggak semuanya). Bukan dengan mengobrol tentang cuaca seperti di negara dengan empat musim, tapi lebih kepada: menanyakan status personal dan selanjutnya bertanya kapan 'tahapan kehidupan' selanjutnya?

Untuk orang yang cuek bebek seperti saya, saya menganggap pertanyaan tersebut hanya angin lalu. Semacam mencium kentut orang yang buang angin sembarangan tanpa permisi: hanya kesal sesaat, lupa kemudian. Tapi bagi beberapa teman saya yang sesama single, just got married, atau pun baru memiliki anak satu.

Pertanyaan seperti, kapan menikah, kapan punya anak, kapan nambah anak kedua, dan seterusnya adalah semacam hantu gentayangan yang they are trying hard to avoid. Dan tiap kali dicurhatin, saya akan menjawab singkat, "anggap aja itu the way they care".

"Tapi aku capek, mbak. Suka mendadak sakit kepala kalau kayak gini. Belum lagi orang jadi sering banget bagi kontakku sembarangan. Aku paham banget kalau mereka peduli, tapi nggak gini juga."

Pfiuuh.. saya paham betul rasanya. Dengan kondisi yang sama, saya juga sempat kesal dengan cerewetnya orang menanyakan ini itu. Belum lagi kalau mereka melanjutkan dengan kritikan personal yang (katanya) membangun, tapi menurut saya lebih kepada nyinyir tanpa tedeng aling-aling. Bahkan acap kali tidak melalui sensor atau filter lebih dulu: "makanya dong dandan dikit. Jangan lusuh-lusuh amat. Oh ya, kalau sama lelaki jangan kaku. Coba ramah dikit."

Sayangnya kritikan mereka hanya sebatas di bibir saja, tidak ada dukungan finansial atau material, semacam memberikan kosmetik baru yang lebih yahud gitu. 

Mereka juga sepertinya belum pernah merasakan senewen digodain bapak-bapak atau lelaki iseng nggak jelas kalau kita bersikap ramah, yang kemudian ditanggapi secara berlebihan. Kayak gini jadi serba salah yekan? Kalau kita baik, dikira modusin orang. Kalau kita agak diem, dikira sombong. Hedeeeh.

Namun, balada single bukan lah apa-apa bila dibandingkan dengan recently wedded couple atau pasangan yang baru punya anak satu. Saya memiliki teman yang anaknya meninggal tak lama setelah ia melahirkan. Dengan duka yang belum kering, orang-orang udah sibuk nanya, kapan punya anak lagi. Errghh.. bapak, ibu, tolong ya. Ini pemakamannya baru selesai. Kepo-nya mbok jangan kebangetan. Dengan kondisi yang tertekan dan belum siap secara mental, ia kemudian memutuskan untuk menutup seluruh akun media sosialnya. Walaupun begitu, masih juga ada beberapa yang nyolot, "lah itu kan takdir. Ya kita sebaiknya tegar, semoga nanti diganti yang lebih baik."

Iya sih, tapi ini bukan bikin indomie lho. Yang kalau mie-nya terlalu mblenyek atau kebanyakan kuah, kita bisa masak baru lagi selama tiga sampai lima menit. Anak kan juga titipan, kita nggak pernah tahu kapan Tuhan ngasih kepercayaan untuk menjadi orangtua. Nah, ini juga yang kadang mayoritas kita belum paham-paham banget. Mungkin karena zaman dulu orang punya anak banyak, ketika sepasang suami istri hanya punya anak satu, mereka sering heran. Dan kemudian timbullah pertanyaan menakutkan selanjutnya, "kapan nambah lagi?"

Meskipun level pertanyaan ini bagi sebagian orang it is like another small talk, but hey, sometimes, you might hurt the couple's feeling! Terutama bagi yang sudah berusaha menambah anak melalui berbagai program, namun apa yang mereka inginkan belum kunjung berhasil. Kisah pasangan yang dimuat dari website Guardian adalah salah satunya. Berulang kali mereka mencoba memiliki anak kedua, namun berulang kali pula sang istri mengalami keguguran. Sedih? Pasti. Apakah lingkungan sekitar mereka paham? Sayangnya tidak. 

Bagi khalayak umum, satu anak itu 'baru', bukan 'cukup'. Jadi, jangan heran pertanyaan basa-basi ini tidak akan selesai hingga kita masuk ke liang lahat. Padahal dibandingkan dengan 'kapan' yang lain, justru pertanyaan kapan dalam upacara kematian adalah pengingat yang terbaik. Ketika ditanya, "kapan nyusul?" saat takziah mungkin kita tiba-tiba akan teringat bahwa kita belum bayar hutang. Eh, kemudian ingat lagi kemarin ngambil manga tetangga, lupa bilang, dan lain sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun