Dari mana kita memulai tulisan? Atau makan masikah pakai tangan? Memang tergantung, kebiasaan dan kecenderungan. Â Situasi dan keadaan. Secara pribadi, saya lebih biasa menulis artikel. Berawal dengan tulisan tangan dulu pada buku tulis. Biasanya, yang kubuat bukan kerangka atau outline tulisan. Melainkan, saya menulis lengkap. Mulai dalam pikiran gambaran temanya. Buat judul. Lalu, tulis lead lengkap hingga paragraf per paragraf. Tambahkan, sub judul bila diperlukan. Â Bahkan, saat menulis di Kompasiana ini. Saya sering menulis tangan dulu secara keseluruhan dalam buku tulis yang biasa digunakan anak sekolah dasar.
Kenapa buku tulis yang agak murah jadi landasan tulisan? Biasanya, yang cuma berharga Rp1000-3000. Saya merasa lebih bebas menulis dan mengoret buku tulis semurah itu. Juga, lebih ringan ditentang dibanding misalnya buku tulis dengan cover lux. Aku rasa, itu terlalu mahal buat penulis. Lagi pula, agak sedikit berat untuk dibawa-bawa.
Efek positif tulisan tangan barangkali mirip dengan senam otak kanan-kiri, yang dipopulerkan dalam ece break training bisnis. Apalagi telunjuk tangan yang menggerakkan pena kata guru saya dulu terhubung ke hati serta otak. Sebagaimana halnya juga telunjuk tangan yang digerakkan lurus dalam ibadah Shalat pada bacaan tasahud akhir.
Saya juga membimbing beberapa orang menulis. Kerap menganjurkan awal tulisan dengan tulisan tangan. Alasan yang saya gunakan kalau ada yang bertanya Lebih pada sikap alamiah saja. Agar kita lebih bersahabat dengan tangan dalam menulis. Keterhubungan kita secara alamiah dalam menulis. Sebagaimana halnya, ada tradisi lokal Indonesia makan dengan menggunakan tangan. Bukankah menulis dan makan dengan jari tangan lebih alamiah. Sampai membuat kita insyaf diri keterhubungan alami dalam kehidupan amat penting. Tapi, kini, banyak orang Indonesia menulis dan memakan lewat bantuan alat teknologi, seperti sendok dan ketukan langsung pada keyboard komputer, laptop. Â Bagi sebagian orang Indonesia mulai agak makan pakai tangan khususnya dianggap "kampungan?" Sebagai orang dari desa, saya bisa tersinggung mendengar ocehan itu.
Aku rasa, ada baiknya, kita orang Indonesia memertahankan karang-mengarang-tulis-menulis dan bahkan hingga cara makan, dengan adat lokal menggunakan tangan. Rasanya, hal itu lebih bersahabat dengan alam dan alamiah. Sambil tentunya, kadang perlu menggunakan alat teknologi demi kemudahan atau kemajuan. Bukan dengan mengisolasi diri terhadap kemajuan.
Jadi, bagi saya ada kesan istimewa kalau masih menulis dengan tangan. Bahkan, makan dengan menggunakan tangan, di pertemuan mana pun. Kecuali, sedikit situasinya sudah agak mengharuskannya. Memang perlu saya akui, kala menulis saya  adakalanya saya langsung ke laptop. Tanpa tulisan tangan lagi. Begitu juga, dengan makan. Tapi, waktu makan rendang di rumah makan Padang di Jogja, aku masih kerap pakai tangan. Kan, ada tempat cuci tangan.