Mohon tunggu...
Abdul Hakim Siregar
Abdul Hakim Siregar Mohon Tunggu... Guru - guru

Guru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenali Yudian Wahyudi Bukan dari Kontroversi Saja

28 Februari 2020   08:57 Diperbarui: 28 Februari 2020   14:16 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: facebook.com/photo.php Yudian Wahyudi

Sebagian orang spontan saja komentar "miring?" Atau bahkan pembuat berita mencoba mengenali Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D. dari sudut pandang daftar kontroversi Pak Yudian? Sampai ada yang mendaftar 3-4 deretan kontroversi yang seakan dilontarkan Pak Yudian? Misalnya, dari kontroversi "pelarangan cadar di UIN Jogja, pelolosan disertasi Abdu Aziz dengan Konsep Milk al-Yamin, Musuh Pancasila itu agama, dan terakhir "Salam Pancasila?"

Padahal,  kalau kita mau menyilang pendapat atau setidaknya menonton atau mendengar dulu secara empatik apa yang dimaksudkan Pak Yudian, rasanya hal itu, tidak bermakna sebagaimana banyak menyebar di media sosial hari ini? Lalu, bagaimana kita dapat mengenali Pak Yudian misalnya, tentunya jika ingin memahaminya, banyak aspek, segi, dan sisi kemanusiaan, bahkan sosial-politik yang melingkupinya. 

Sebagai contoh kecil saja, ada orang hanya sekali bertemu dengan Pak Yudian lalu ia menyimpulkan Yudian begini dan begitu? Sebagian lain, bahkan belum pernah bertemu menyimpulkan Yudian secara agak negatif sebagaimana banyak "nada negatif komentar di YouTube" terutama sejak ia di BPIP? 

Sepertinya, baru begitulah kualitas kita dalam menanggapi perbedaan pendapat, kita spontan menyerang pribadi orang tanpa mau sedikit pun berupaya memahami sudut pandang orang, apalagi menyelami lebih dalam dan ilmiah. 

Namun, spontan sudah mengecap, mencapi dan melabeli orang, misalnya, dengan label: "PKI, komunis, liberal?" Dengan makna yang sangat negatif? Padahal, Allama Muhammad Iqbal menyairkan, "Islam itu adalah komunis plus Tuhan?"

Apa yang ingin saya katakan di sini. Ada semacam penyakit psikologis atau sosiologis sebagian kita di Indonesia yang rasanya belum banyak mengetahui sesuatu, tetapi kontan saja komentar? Sebagian malah membawa-bawa istilah "agama" padahal dia si oknum komentator itu cuma lulusan sekolah rendah atau sederajat menengah? 

Barangkali baru di kita inilah, orang dengan tingkat pendidikan rendah lebih dianggap agamis daripada mereka yang sudah belajar ilmu agama hingga tingkat doktoral, Prof.

Ini bukan berarti menghina yang tidak sekolah atau lulusan tingkat rendah, tetapi lebih sebagai refleksi diri-sosial. Jangan seolah, orang yang tinggi kuliahnya, kualitas agamanya dianggap tidak mutu oleh kalangan tamatan dasar. Sampai dikira tamatan rendah itu lebih agamis dan sakti? Oh, tidak? 

Sejarah membuktikan, pengamalan beragama seorang lebih bersifat subjektif. Tetapi, sesuai dengan perkembangan pendidikan modern, spesialisasi keilmuan. Maka, kita pun perlu menyerahkan urusan kepada ahlinya. Artinya, terkait dengan permasalahan agama misalnya, ya kita percayakan pada mereka yang sudah secara administratif menempuh pendidikan tinggi yang disertai dengan akreditasi dan ijazah yang sah. 

Ada pun, orang yang komentar boleh saja dalam demokrasi. Tapi, jangan sampai klaim kebenaran mutlak hanya hanya haknya, padahal mohon maaf si oknum itu hanya lulusan: setingkat menengah, atau bahkan lebih rendah? Itu pun bahkan, baru "taubat" lalu kini tampaknya ia syahdu menjalankan "agama" secara ketat berlebihan?

Coba bayangkan lagi, jika ada berpendidikan tinggi sekaliber (Dr.) seakan lebih percaya, bahkan percaya secara mutlak kepada lulusan sederajat "Maaf, SD-SLTA" katakanlah menyangkut agama, hanyalah karena si oknum itu mengenakan pakaian seolah sufistik yang tingkat maqamatnya, makrifat, mahabbah, hulul, dan ittihad? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun