Mohon tunggu...
Abdul Hakim Siregar
Abdul Hakim Siregar Mohon Tunggu... Guru - guru

Guru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Beromong Kosong Menangani Pendidikan

17 Oktober 2017   11:48 Diperbarui: 17 Oktober 2017   12:04 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Ilustrasi shutterstock By Monkey Business Images

Jangan kaget, pola pendidikan kita seakan jalan di tempat. Kenapa? Karena kita tak kunjung serius menangani pendidikan. Kecuali, sekedar beromong kosong. Berpidato pendidikan harus begini dan begitu di hadapan para guru. Namun, dalam lapangan praktis dan taktisnya, pembicara menggerogoti aspek pendidikan. 

Intervensi dan interpretasi oknum yang berjabatan struktural terhadap kepala dan guru di sekolah atau madrasah sedemikian dominan. Maka, independensi pola pendidikan sekolah tercabut dari akar pedagogiknya. Menjadi lebih condong pada sisi kepentingan sepihak dibanding nilai adab dan akademis ilmiahnya. Cuma, untuk menutupi kedok itu, kita masih bisa bersendagurua dan bermain-main dengan pilihan kata, kalimat, dan jawab yang puitis hingga politis.

Sebagai guru, saya beberapa kali bersua dengan oknum pejabat 'kantoran' yang berkaitan dengan pendidikan seolah ia merasa paling mumpuni menangani pendidikan. Kepada khalayak guru sepele sekali memberikan motivasi dan petuah yang berbasa-basi sampai mulut berbuih. Sampai nekat ia menggunakan 'bahasa agama' yang keluar dari teks, apalagi konteksnya seakan menyemangati para guru. Padahal, kalau ditelisik sedikit saja, apalagi lebih dalam lagi, si dia pembicara itulah sumber utama masalah pendidikan itu.

Aneh bin ajaib memang! Saat oknum pejabat memegang pangkat struktural kependidikan. Mengeraskan suara mikropon kependidikan. Aduhai! Dengan gaya dan logat retoris berkedok diksi konotatif dan kata berbunga, ia menyerang posisi guru sebagai tertuduh musabab mutlak persoalan pendidikan. Seraya, ia membersihkan diri seolah paling bersih terkait noda pendidikan. Padahal, bisa jadi, ia-lah pemalak dana pendidikan. Setidaknya, pembuat laporan fiktif pendidikan. Lewat rekayasa laporan. Begitu pun, kadang, masih mendapati piagam atau sertifikat penghargaan dengan istilah keuangan: WTP? Kita kadang, lebih mengejar sisi administratif sebuah laporan daripada inti substansinya. Memang, sebaiknya, keduanya, sekaligus.

SambutanOknumPejabat

Sudah lazim, setiap kedatangan pejabat kependidikan dan bahkan pejabat tinggi lainnya ke sekolah, pihak sekolah atas kerendahan hati memberikan kesempatan kepada pejabat tersebut memberikan kata sambutan, arahan, bimbingan, atau sebentuk motivasi pendidikan. Yang agak ganjil bagi saya, beberapa oknum pejabat struktural kependidikan yang berpidato di hadapan guru, tidak disertai dengan sikap tawaduk. Malahan, lebih menonjol sisi pamer, riya (memamerkan diri secara kasat mata), sum'ah (memamerkan diri kepada pendengar), ujub (rasa bangga yang berlebihan terhadap diri sendiri), dan bahkan takaburnya (rasa sombong, angkuh, atau congkak).

Dari sudut pandang komunikasi, sebagian oknum pejabat yang memberikan petuah pendidikan di hadapan guru itu, tidak empatik sama sekali. Kecuali, secara auto-biografis membicarakan pengalaman dirinya yang subjektif, seraya secara universal dianggap contoh ideal bagi semua guru.

Tentu saja, siapapun yang berhasil secara birokrat, pangkat, jabatan, karier, ilmu, harta, keluarga, pasangan, anak, dan sebagainya dapat dijadikan cermanan ibarat kepada orang lain. Namun, mendaulat diri seakan paling sukses dan mandiri, dengan pencapaian sendiri. Sesekali, menyelipkan nama Tuhan sebagai rasa syukur di dalamnya. 

Padahal, kalau dia atau kita mau jujur, pencapaian kita itu lebih layak disebut hasil: "kecurangan dan kebohongan?" Untuk tidak menyebutnya, jika jabatan atau kekayaan yang diperoleh itu merupakan suap-menyuap dan hasil korupsi. Termasuk, kita mungkin mempidatokan jabatan atau harta kekayaan yang didapati itu sebagai 'nikmat'dari Tuhan. Padahal, kiranya lebih tepat dikatakan laknat atau pengundang azab. Kita menyebut diri dengan rasa bersyukur kepada Tuhan, padahal sebetulnya kita kufur. Paling tidak, kita perlu secara jujur mengakui kezaliman kita itu. Guna ber-istigfar kepada Tuhan secara ikhlas.

Kebanyakan kita, termasuk saya, masih seperti kanak-kanak dalam memberikan kata sambutan dengan berupaya 'menarik perhatian'atas pencapaian dan keberhasilan. Kita terus-menerus mengukur keberhasilan secara rasial yang diperhalus, atas dasar jenis kelamin, turunan, suku, marga, kabilah, bangsa, warna kulit, dan aspek jasmaniah serta material lainnya di hadapan manusia. Untuk dibangga-banggakan. Banyak di antara kita terpikat dengan hal-hal duniawi itu. Padahal, secara ukhrawi, akhirat, serta pada akhirnya, Tuhan hanya menilai kita berdasarkan kualitas iman-takwa dan amal baik yang ikhlas.

Harapan kita, siapapun dia yang mau memberikan sambutan dalam pendidikan, terutama di hadapan guru. Sangat penting dilandasi dengan sikap rendah hati. Paling tidak, kita perlu tulus mau mengakui, kita barangkali bagian dari masalah pendidikan itu sendiri. Pengakuan ini bukan dengan gurauan, melainkan dengan rasa sadar dan penuh insyaf diri yang tulus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun