Mohon tunggu...
Abdul Hakim Siregar
Abdul Hakim Siregar Mohon Tunggu... Guru - guru

Guru

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pak Jokowi Jago Politik: Antara Konsistensi & Fleksibilitas

3 Oktober 2017   13:40 Diperbarui: 3 Oktober 2017   14:04 1689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompas.com/Ramdhan Triyadi Bempah

Bermain politik membutuhkan konsistensi sekaligus fleksibilitas. Konsisten atau tetap, tidak berubah-ubah; taat asas; ajek; selaras; dan sesuai perbuatan hendaknya dengan ucapan (KBBI) menjadi prasyarat berpolitik. Biar orang lain atau pemilih beranggapan kita jujur dan tegas. Namun, konsistensi berlebihan, seakan kita menjadi kaku, bahkan tak ada lagi kawan. Kecuali, lawan semakin banyak menyerang. 

Maka, untuk melengkapi konsistensi dibutuhkanlah fleksibilitas. Fleksibel adalah lentur atau kelenturan, keluwesan, ketidakcanggungan, dan penyesuaian diri secara mudah serta cepat. Pada satu sisi fleksibilitas menjadikan kita mudah lentur dan luwes terutama dalam bergaul atau berkoalesi. Namun, fleksibel yang agak berlebihan membuat orang lain menilai kita tanpa pendirian alias dikendalikan orang lain. atau bahkan ada yang menyebutnya, 'munafik atau hipokrit?'

Lalu, bagaimana kita menempatkan konsistensi dan fleksibilitas pada tempat, situasi, atau kondisi yang tepat? Ini, membutuhkan sudut pandang yang lengkap. Paling tidak, memerhatikan dua sudut pandang (yang pro-kontra) dan mengambil alternatif, jalan tengahnya. Sikap itulah yang lazim kita namai dengan bijak atau hikmah. Kata hikmah terambil dari bahasa Arab, diserap ke Indonesia, seperti hakim. Hakim di pengadilan, memutuskan dua orang berperkara. Setelah mendengar keterangan dari dua pihak yang berperkara. Dari situlah, hakim biasanya memutuskan perkara, termasuk memertimbangkan saksi dan alat bukti yang sah. 

Sebagai contoh lain, marilah kita ambil tamsil bagaimana Pak Jokowi menghadapi isu berikut:

Pertama, pendidikan.

Ketika, Mendikbud Muhadjir Effendy memutuskan sekolah sepenuh hari dengan kompensasi libur hari Sabtu. Muhadjir sendiri yang merupakan kader organisasi Muhammadiyah mendukung penuh kebijakan 5 hari sekolah. Lain halnya, dengan kaum NU dan Al-Washliyah umpamanya menolak dengan keras kebijakan sekolah 5 hari dan sepenuh hari, karena dianggap dapat mematikan Madrasah Diniyah Awaliyah.

Mendikbud Muhadjir beralasan putusan sekolah 5 hari mendapati restu Presiden Jokowi. Tak lama kemudian, Pak Jokowi menjelaskan sekolah 5 bukan keharusan, jadi sekolah boleh memilih, seperti biasa. 

Jadi, gejolak dua organisasi massa reda, Pak Jokowi secara politik tetap akan beroleh suara dari dua organisasi besar keagamaan itu.

Kedua,militer.

Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo menginstruksikan jajaran TNI menonton bareng (nobar) pemutaran film pengkhianatan G-30 S PKI. Perintah Jenderal Gatot tentu saja dilaksanakan jajarannya. Bahkan, mayoritas rakyat Indonesia menyambut hangat perintah Jenderal Gatot, sehingga dari berbagai penjuru daerah-kota melakukan nobar film pengkhianatan G30SPKI. Hal itu juga tentunya, menimbulkan sedikit pro-kontra. Termasuk, Presiden Jokowi berkomentar bahwa menonton film apalagi mengenai sejarah itu penting. Tetapi untuk  anak-anak milenial yang sekarang, menurut Presiden, seharusnya dibuatkan  lagi film yang disesuaikan dengan gaya mereka. (KOMPAS.COM).

Pada akhirnya dan belum ada revisi film G30 S PKI, Presiden Joko Widodo turut nobar pemutaran film pengkhianatan G 30S/PKI yang berlangsung di Makorem 061 Suryakencana,  Bogor, Jawa Barat, Jumat (29/9/2017) malam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun