Mohon tunggu...
Simon Sutono
Simon Sutono Mohon Tunggu... Guru - Impian bekaskan jejak untuk sua Sang Pemberi Asa

Nada impian Rajut kata bermakna Mengasah rasa

Selanjutnya

Tutup

Diary

Bersekolah

23 Mei 2021   10:12 Diperbarui: 9 Juni 2021   11:09 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Layaknya dimiliki anak sebaya Tuanku, aku dan kembaranku berukuran panjang standar dengan warna sawo matang. Di beberapa tempat ada bekas koreng yang lama terobati sehingga meninggalkan bekas. Kulit yang menyelimutiku cukup kasar. 

Wajar, karena tuanku tidak akrab dengan celana panjang yang identik dengan anak remaja. Maka, seringnya aku terpapar dengan udara terbuka dan tentu saja terik matahari ketika Tuanku menghabiskan waktu di luar ruangan.

***

"Geuwat atuh, geus beurang ieu the. Bisi telat! (Cepetan, sudah siang. Nanti terlambat!)" teriakan kakak keempat Tuannya terdengar kencang dari luar rumah. Dengan bergegas aku dan saudara kembarku menuruni tangga mengejar sang kakak yang sudah bergegas.

"Tuh calana can diseleting! (Tuh celana belum direstleting!)" Aku tersenyum geli membayangkan raut wajah Tuanku. Pastinya bukan wajah yang gembira. Lagi, Tuanku bangun kesiangan dan hanya cuci muka serta membasahi rambut dengan air teh dari teko. Bukan yang pertama kali, dan sepertinya bukan yang terakhir. 

Tuanku bergegas berganti baju seragam sekolah yang kusut karena tidak pernah mengenal seterika. Janganlah berpikir tentang seterika listrik seperti sekarang ini. Seterika yang dimaksud berbahan besi dengan kunci penutup berbentuk ayam jago. Hanya satu dua warga desa yang memilikinya. Seterika ini bersumber panas dari bara arang kayu yang harus sesekali dikipas-kipas dengan hihid - kipas dari bambu yang umumnya dipakai untuk ngakeul nasi - mendinginkan nasi yang baru dikukus. Maka cukup merepotkan menyeterika baju menggunakan seterika jago. Belum lagi bobotnya yang cukup berat karena terbuat dari besi.

Aku dan kembaranku melihat kembaran-kembaran lain beralas sandal jepit menyusuri jalan yang menanjak menuju sekolahan. Ritual pagi di desa ini selalu disibukkan dengan bocah-bocah sekolahan yang menerjang hari untuk mempersiapkan masa depan. 

Ada tiga sekolah dasar di desa ini, dua SD negeri dan satu SD swasta katolik. Ketiga SD ini terletak di kampung utama dan menyebabkan anak-anak sekolah dasar dari kampung-kampung yang lain berjalan ke kampung kami meramaikan jalanan utama, berbaur dengan siswa SMP yang juga berjalan kaki menuju sekolah mereka di desa tetangga.

Jangan ditanya tentang transportasi -mobil dan motor maksudnya. Di masa Tuanku sampai SMP kelas dua, semua siswa yang berasal dari desa kami berjalan kaki menuju sekolah. Kami-kamilah kembaran kembaran yang menopang tubuh-tubuh bocah dan remaja ini yang menghantarkan mereka ke kawah pengembangan diri. Dalam gerak berirama  para pencari ilmu menjejak langkah tanpa mengenal lelah. Allah bisa karena biasa. Demikian juga dengan kami, kembaran-kembaran yang tidak mengenal penat, menata langkah meninggalkan jejak.

"Kok tambah besar tugas kita tambah berat, ya?" cetusku pada kembaranku.

"Maksudmu?" Kembaranku balik bertanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun