Mohon tunggu...
Marulitua Simb
Marulitua Simb Mohon Tunggu... Freelancer - Sayangi Diri Anda

Penjaga Aset Negara, Menolak kebatilan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Butuh Orang Cerdas untuk Memahami "Grondkaart", Supaya Gak Keminter!

17 Maret 2018   17:43 Diperbarui: 18 Maret 2018   09:20 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Sumaterapost.com

Badan Akuntabilitas Publik DPD RI menyelenggarakan Fokus Grup Diskusi pada 15 Maret 2018 yang bertempat di ruang rapat BAP DPD RI Senayan, Jakarta dimana poin pembahasan utamanya adalah penyangkalan Grondkaart sebagai alas hak PT. KAI (Persero) dalam mengklaim aset mereka. Dalam FGD tersebut dihadirkan tiga narasumber yakni Ny. Arie S. Hutagalung yang merupakan Guru Besar Hukum Agraria Universitas Indonesia, Dr. Kurnia Warman SH, M.Hum selaku wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang dan juga Yuli Indrawati, SH, LL.M, seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Dikutip dari lampungpro.com, Arie S Hutagalung mengatakan bahwa Grondkaart yang menjadi pegangan PT. KAI (Persero) dalam mengklaim aset lahannya bukan merupakan alas hak. Ia juga menambahkan bahwa Grondkaart hanya berupa gambar situasi atau semacaam surat ukur, jadi tidak bisa dikatakan sebagai alat menegaskan formal yuridis kepemilikan lahan. 

Guru Besar Hukum Agraria UI tersebut juga mengatakan bahwa hingga saat ini tidak ada proses sertifikasi Grondkaart menjadi kepemilikan sesuai hak-hak barat yaitu eigendom, opstal maupun erfpacht. Senada dengan Arie, kedua narasumber lain juga mengatakan hal yang sama dimana mereka mengatakan bahwa Grondkaart tidak dapat dijadikan sebagai bukti kepemilikan. Berbekal dari ucapan para narasumber, Anggota DPD RI yakni Andi Surya mengatakan selayaknya PT. KAI (Persero) legowo dan ikhlas melepaskan lahan-lahan Grondkaart yang tidak terpakai dalam tugas pokok operasional Kereta Api.

Jika dilihat dari sejarah, kereta api mewarisi peraturan pada masa sebelum kemerdekaan dimana kereta api sudah memiliki tanah dari pelimpahan dan pembebasan pemerintah kolonial. Berdasarkan UU Perkeretapian Pertama di Hindia Belanda yang dijelaskan dalam Staatsblad 1866 nomor 132, semua tanah milik SS termasuk dalam status tanah pemerintah, hal ini juga berlaku di wilayah Sumatra Selatan (Zuid Sumatra) yang terdiri atas karesidenan Palembang, Lampung dan Bengkulu. Hal ini dibuktikan dengan adanya surat keputusan (besluit) Gubernur Jenderal Hindia Belanda 14 Februari 1911 nomor 12. Dengan demikian semua tanah yang sekarang dikuasai oleh PT. KAI sebagai warisan dari SS di Lampung dan Sumatera Selatan tidak perlu diragukan lagi dengan bukti Grondkaartnya.

Grondkaart sendiri memiliki dua fungsi yakni fungsi kepemilikan dan kepentingan. Selain itu Grondkaart juga memiliki kekuatan administratif berdasarkan arsip yang terpisah yakni surat keputusannya serta kekuatan yuridis yang memiliki dasar hukum dari tambahan berita negara No. 4909 pasal tiga dan empat. Dalam pasal tiga disebutkan bahwa Grondkaart dibuat berdasarkan surat ukur yang diukur dan diterbitkan oleh Kadaster sedangkan pasal empat menyebutkan bahwa Grondkaart merujuk kepada pemegang hak atas tanah. Kekuatan hukum lain adalah pencantuman surat keputusan atau ketetapan pejabat pemerintah yang menyetujui pengesahan grondkaart untuk digunakan sesuai fungsinya dimana dalam surat tersebut dijelaskan mengenai riwayat tanah yang tertera dalam Grondkaart serta proses kepemilikan oleh subjek yang tercatat pada Grondkaart terkait.

Perlu diketahui juga, semua tanah yang telah dibuktikan dengan Grondkaart juga tidak perlu lagi melewati proses konversi dalam PP nomor 11 tahun 1961 yang menunut konversi hak barat karena status tanah pemerintah tidak termasuk dalam hak-hak barat tersebut yakni eigendom, erfpacht, gebruik recht atau opstal. Hal ini juga diperkuat dengan Keputusan Presiden nomor 32 tahun 1979 pasal 8 yang menegaskan bahwa semua tanah BUMN adalah tanah negara.

Pemerintah kita sendiri juga mengakui Grondkaart, hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya surat Menteri Keuangan Nomor B-II/MK.16/1994 tanggal 24 Januri 1995 yang ditujukan kepada kepala BPN dimana dalam surat tersebut terdapat dua poin. Poin pertama berbunyi tanah-tanah yang diuraikan dalam Grondkaart pada dasarnya merupakan kekayaan negara yang dipisahkan sebagai aktiva tetap Perumka. 

Berkenaan dengan hal itu maka tanah-tanah tersebut perlu dimantapkan statusnya menjadi milik atau kekayaan Perumka. Selanjutnya poin kedua menyatakan terhadap tanah perumka yang diduduki pihak lain yang tidak berdasarkan kerjasama dengan Perumka, suapaya tidak menerbitkan sertifikat atas nama pihak lain apabila tidak ada izin atau persetujuan dari Menteri Keuangan.

Penjabaran singkat tersebut cukup menjawab pernyataan yang dilontarkan oleh para narasumber dan juga Andi Surya, dimana Grondkaart memiliki kekuatan hukum ganda dan diakui oleh negara. Sekedar informasi, tidak hanya lahan milik PT. KAI(Persero), BUMN lain seperti Pertamina dan PLN juga menggunakan Grondkaart sebagai alas hak. Bahkan istana negara dan lapangan monumen nasional pun juga menggunakan Grondkaart sebagai alas hak. 

Jika menuruti pola pikir Andi Surya, maka bisa dibayangkan negara ini akan dihabisi oleh warganya sendiri karena banyak pihak yang berlomba-lomba menguasai aset negara demi kepentingan pribadi. Seharusnya kegiatan FGD seperti ini juga turut mengundang orang yang ahli dibidangnya, tidak hanya dari segi hukum maupun agraria namun juga dari segi sejarah karena pada kenyataannya masih banyak pihak yang tidak memahami Grondkaart tetapi berani membuat pernyataan yang dapat mempengaruhi orang lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun