Mohon tunggu...
Silvia Ripa Nurkaromah
Silvia Ripa Nurkaromah Mohon Tunggu... ️️️️️️ ️️️️️️

Tertarik dalam bidang ekonomi, terutama dalam hal keuangan syariah. Serta, pro-aktif berpartisipasi dalam organisasi dan kompetisi pendidikan. Merupakan individu yang tekun, memiliki motivasi yang tinggi, dan saat ini sedang menempuh pendidikan di Program Studi Ekonomi Syariah Fakultas Agama Islam Universitas Siliwangi di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar Pilihan

Jogja Ora Didol, Jiwa Jogja Bukan Sekadar Simbol

26 Juni 2025   19:40 Diperbarui: 28 Juni 2025   21:06 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Titik Nol Kilometer, Yogyakarta (Sumber: Sashi/Kredit Foto)

Setiap kota menyimpan wajah berbeda bagi setiap orang. Ada yang mengenangnya lewat aroma makanan, suara becak, atau sekadar suasana senja yang jatuh di antara bangunan tua. Ada pula yang mencintainya karena nilai dan cerita yang melekat dalam diam. Yogyakarta atau Jogja adalah salah satunya. Kota ini bukan sekadar tujuan wisata atau pusat kebudayaan. Jogja adalah ruang hidup yang tumbuh bersama sejarah, warisan, dan rasa yang tak mudah digantikan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, wajah kota ini perlahan berubah.

Salah satu titik paling sensitif dari perubahan itu ialah kawasan Sumbu Filosofis Yogyakarta yang membentang dari puncak Gunung Merapi, melintasi Tugu Pal Putih dan jantung Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, lalu berakhir pada samudra luas di Laut Selatan. Lebih dari sekadar bentangan ruang, sumbu ini adalah sulaman makna tentang keseimbangan antara langit dan bumi, antara harap dan tunduk, antara kuasa dan rakyat. Di dalamnya terpatri panduan hidup yang mengajarkan bagaimana kekuasaan bersujud pada kebijaksanaan. Konsep tersebut lahir dari kearifan Jawa yang menghidupkan keseimbangan antara keteduhan utara, kekhidmatan tengah, dan kekuatan selatan.

Sumbu yang dahulu sunyi dan sakral mulai dipenuhi riuh yang asing. Bukan lantunan kidung macapat yang mengalun, bukan pula langkah kaki peziarah yang khusyuk menyusuri ruang batin. Yang terdengar justru deru kendaraan, jepretan kamera ponsel, dan suara-suara kuasa yang merasa paling tahu soal makna. Kawasan yang dulunya menjadi ruang perenungan telah menjelma menjadi ruang pertunjukan. Jogja telah berubah menjadi panggung. Sebuah panggung yang lupa siapa penonton, siapa pula pemilik ceritanya.

Kini, di sepanjang sumbu ini, pemerintah dan pemodal berlomba membangun infrastruktur atas nama “penguatan kawasan strategis nasional”. Melalui Proyek Penataan Kawasan Sumbu Filosofis yang dicanangkan oleh Kementerian PUPR dan didukung Pemda DIY, berbagai ruang publik mulai dirapikan. Jalan Malioboro ditata menjadi kawasan semi pedestrian, trotoar diperlebar, lampu sorot artistik dipasang, dan Taman Pintar hingga Titik Nol Kilometer disulap jadi ruang tamasya yang fotogenik. Dalam masterplan kawasan, pembangunan juga melibatkan revitalisasi Pasar Beringharjo, Pusat Desain dan Batik Nusantara, hingga Jogja Planning Gallery.

Sumbu Filosofis Yogyakarta akan kehilangan makna jika hanya dijadikan pajangan prasasti. Pohon-pohon asam tua di sekitar Jalan Margo Mulyo digantikan batu paving licin. Lapak pedagang kaki lima (PKL) yang dulu menghuni sisi Malioboro pelan-pelan digusur ke tempat yang jauh dari aliran pengunjung. Penataan dilakukan dengan dalih estetika dan ketertiban, tetapi mengorbankan ritme hidup warga kecil. Dalam lanskap baru ini, deru kendaraan listrik wisata menggantikan derap langkah becak. Skybridge penghubung Malioboro–Stasiun Tugu dibangun, tetapi tukang becak kehilangan tempat mangkalnya. Penjual kopi jos dan angkringan legendaris di seberang Stasiun Tugu perlahan digusur demi normalisasi kawasan. Di titik ini, kita berdiri menolak pembangunan yang mengabaikan ruh kota dan masyarakatnya. Bukan karena anti kemajuan, tetapi karena tidak ingin kehilangan wajah asli Jogja.

Yang tumbuh di sepanjang sumbu ini bukan kesadaran kultural, tetapi kepentingan pariwisata. Jogja dinobatkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) dan menjadi proyek prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024. Namun, pembangunan ini lebih berpihak pada visual daripada jiwa kota. Jogja menjadi panggung, tetapi dalam pertunjukan itu, siapa sebenarnya aktornya? Warga setempat yang telah hidup bertahun-tahun justru menjadi figuran, ditampilkan sekilas lalu disingkirkan.

Perlawanan warga tak selalu terekam dalam teriakan, namun hadir dalam lirih suara ibuk-ibuk Pasar Beringharjo yang merasa pendapatannya makin sepi karena tempat berjualannya dikepinggirkan. Terselip dalam keluh tukang becak di Jalan Mangkubumi yang kini tidak bisa lagi melintas karena digantikan oleh sepeda wisata sewaan. Bahkan, hidup dalam resah seniman mural yang ingin menghiasi dinding Jogja dengan kisah rakyat, tetapi terhalang oleh batas estetika yang ditentukan dari atas.

Seruan Jogja Ora Didol!” bukanlah simbol semata, melainkan jeritan agar kota ini tak dipreteli demi investasi. Warga Jogja tidak anti pembangunan, tetapi mereka ingin menjadi bagian darinya. Mereka menolak dimarjinalkan oleh kebijakan yang mengutamakan wisatawan tetapi melupakan penghuni asli. Mereka ingin ruang-ruang diskusi yang diisi bukan hanya oleh pemegang modal dan pejabat, tetapi juga oleh mereka yang memahami denyut kota dari lantai trotoar dan deru sepeda tua. Sekarang ini, hotel-hotel megah seperti Royal Malioboro, Jambuluwuk, Grand Inna, dan KHAS Tugu menjulang di sisi sumbu. Di belakangnya, kampung-kampung adat seperti Kampung Ketandan, Prawirotaman, atau Sayidan perlahan kehilangan bentuknya. Tanah-tanah warga menjadi lahan parkir atau gedung pertemuan. Kota makin tampak rapi di brosur, tetapi terasa kosong di hati para penjaganya.

Namun, Jogja belum padam. Masih ada anak muda yang menghidupkan Rumah Baca di Kampung Ledok Tukangan, seniman jalanan yang menyulam keresahan di bawah Jembatan Kewek, dan ibuk-ibuk di Sorogenen yang mengajari menari sambil menjaga sejarah. Masih ada sisa-sisa nyawa yang menjaga Jogja agar tak menjelma menjadi bangunan tanpa jiwa. Kita sering lupa, bahwa ruh kota ini tidak hanya tumbuh dari proyek-proyek infrastruktur, tetapi dari lorong-lorong sempit yang menyimpan jejak hidup harian. Dari angkringan di Sosrowijayan, dari langkah kaki para peziarah di Panggung Krapyak, dari suara ibuk yang menyapu halaman keraton. Jogja bernyawa bukan karena tamannya rapi, tetapi karena manusianya tetap terjaga.

Pada akhirnya, kota yang layak dikenang bukan yang dibangun terburu-buru, tetapi yang disusun dengan rasa. Biarlah Jogja tumbuh setia pada akar, bukan terpukau pada gemerlap luar. Setiap jalan, tiap sudut kota, menyimpan suara-suara kecil yang membentuk identitas bersama. Maka, siapa pun yang ingin membangun Jogja, harus terlebih dahulu belajar mendengarkan. Belajar menunduk dan bertanya: Apakah kota ini sedang tumbuh atau sedang kehilangan jati dirinya? Apakah pembangunan ini membesarkan kota atau mengkerdilkan warga? Jika pembangunan tak melibatkan mereka, maka yang tumbuh hanyalah tubuh kota tanpa jiwa. Oleh karena itu, Jogja terlalu berharga untuk kehilangan jiwanya. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun