Usia 25 belum punya rumah? Gagal.
Usia 30 belum jadi manajer? Terlambat.
Usia 35 belum keliling dunia? Miskin pengalaman.
Standar-standar itu bertebaran di media sosial, disampaikan secara halus lewat unggahan orang lain, pencapaian, prestasi, "motivasi", atau justru pamer yang dibalut estetika. Tanpa kita sadari, kita sedang membandingkan garis hidup kita dengan timeline orang lain. Kita mulai panik. Mulai merasa tertinggal. Padahal siapa yang menentukan bahwa kita harus sampai di titik tertentu pada usia tertentu?
Budaya Terburu-Buru: Sukses Harus Sekarang atau Tidak Sama Sekali
Di era digital, semuanya berlangsung cepat. Informasi, transaksi, bahkan validasi diri. Maka tak heran jika kita juga terbawa arus percepatan ini dalam hal pencapaian hidup.
Lulus cepat, karier melesat, menikah muda, punya rumah, punya bisnis, punya segalanya seolah hidup hanya boleh "benar" jika sesuai template itu.
Padahal, kecepatan tidak selalu berbanding lurus dengan kebahagiaan. Banyak orang yang "ngebut" akhirnya kelelahan di tengah jalan, kehilangan arah, atau lebih parah: kehilangan diri sendiri.
Setiap Orang Punya Waktu Tumbuh yang Berbeda
Ada orang yang lulus kuliah di usia 21, tapi baru mendapatkan pekerjaan tetap di usia 30. Ada yang menikah muda, tapi bercerai setelah lima tahun. Ada juga yang baru merintis karier di usia 35 dan menikmati hasilnya saat orang lain mulai jenuh bekerja.
Tokoh-tokoh besar pun tak semuanya sukses di usia muda.
- Vera Wang baru mendesain gaun pertamanya di usia 40.
- Colonel Sanders memulai KFC di usia 65.
- Stan Lee menciptakan karakter Spider-Man saat usianya hampir 40 tahun.