Ketika Indonesia membuka peluang mengevakuasi seribu warga Palestina sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan, sorotan publik sontak terbelah antara rasa haru, semangat empati, dan pertanyaan-pertanyaan praktis yang menggantung di udara. Di balik niat baik dan diplomasi mulia, Indonesia dihadapkan pada sebuah ujian besar, bagaimana negara dengan tantangan domestik yang kompleks, bisa mengelola aksi kemanusiaan sebesar ini tanpa tergelincir pada retorika semata?
Solidaritas Bukan Sekadar Simpati
Indonesia bukan pemain baru dalam isu Palestina. Sejak era Soekarno, solidaritas terhadap Palestina telah menjadi bagian dari politik luar negeri kita. Namun, solidaritas kali ini bukan dalam bentuk dukungan wacana, melainkan aksi nyata: menerima manusia-manusia hidup yang terpaksa meninggalkan tanah, sejarah, dan trauma mereka.
Namun, aksi ini bukan sekadar soal menyediakan tenda atau dapur umum. Ini adalah tanggung jawab sosial, psikologis, dan politik yang menuntut kesiapan lintas sektor.
Tiga Tantangan Besar: Integrasi, Identitas, dan Isu Dalam Negeri
1. Integrasi Sosial dan Budaya
Meskipun Indonesia adalah negara mayoritas Muslim, perbedaan bahasa, budaya, dan bahkan mazhab dalam Islam bisa menciptakan sekat-sekat kecil yang perlu dikelola hati-hati. Apakah para pengungsi akan ditempatkan di lokasi terpusat? Apakah mereka akan belajar Bahasa Indonesia, atau tetap dalam enclave berbahasa Arab?
2. Legalitas dan Status Kewarganegaraan
Status mereka sebagai "tamu" atau "pengungsi" harus jelas. Apakah mereka akan mendapatkan izin tinggal sementara, status pengungsi resmi dari UNHCR, atau di kemudian hari akan diberi opsi naturalisasi? Ini penting, karena menyangkut akses pendidikan, kesehatan, bahkan pekerjaan.
3. Politik Domestik dan Sentimen Publik