Pandemi yang sedang marak-maraknya terjadi nyatanya tak membatasi ruang gerak dan rencana panen petani. Semuanya sama saja. Masker pun digunakan hanya untuk melindungi wajah dari biji padi agar tak ada gatal yang berlebih.
Pagi-pagi sekali pada Sabtu, 13 Februari 2021, sinar matahari menyambut langkah kami di tengah padi yang merunduk dan siap untuk disaji. Pandemi korona tak menghalangi kami memasuki hamparan padi yang sedang berdiri sembari menahan biji yang akan segera dihabisi. Ribuan cetak sawah berisi padi menjadi kegembiraan bagi kami petani. Itu artinya musim panen akan terjadi. Ratusan petani pun akan menghiasi lautan sawah.
Musim panen kali ini sedikit berbeda. Tak adanya migrasi burung sedikit membantu kami. Karenanya kami tidak perlu repot-repot menjaga padi setiap hari. Pandemi yang sedang marak-maraknya terjadi nyatanya tak membatasi ruang gerak dan rencana panen petani. Semuanya sama saja. Masker pun digunakan hanya untuk melindungi wajah dari biji padi agar tak ada gatal yang berlebih.
Sabtu pagi itu tak langsung kami awali dengan memanen padi. Tapi kami sejenak menikmati angin sepoi-sepoi pagi hari serta merasakan pemandangan indah yang berada di sekitar ribuan cetak sawah. Sembari bersantai, Ibu saya mempersiapkan sabit. Seingat saya alat ini sudah saya pakai saat saya menempuh sekolah dasar. Artinya sejak empat belas tahun lalu.
Walau sudah ada alat termutakhir dan pastinya lebih efisien untuk memanen padi, tetapi kami setia dengan sabit. Bukan karena tak mau berinovasi atau mengikuti arus teknologi. Namun, kondisi keuanganlah yang membatasi. Tak hanya kami, pun dengan seluruh petani yang ada di hamparan sawah yang kira-kira luasnya mencapai 20 hektar ini.
Momen panen kali ini cukup berkesan bagi saya, karena dapat kembali merasakan musim panen yang hampir lima tahun tak kualami. Saya akui selain membawa kerugian, pandemi korona jua membawa sedikit dampak positif. Karenanyalah saya dapat merasakan kembali memanen padi di terik matahari. Lalu bagaimana mengayunkan bilah sabit ke batang padi, dengan memakai PDL ( pakain dinas lapangan ) yang didesain khusus untuk bekerja di tengah sawah.
Sabit yang telah disiapkan Ibu pun segera saya raih, diikuti dua saudara saya yang lain sembari menyusuri petak sawah yang akan di panen terlebih dahulu. Kami berempat pun memulai mengarit padi dengan saling berbagi areal.
Harus kuakui dari kami berempat, barangkali saya adalah yang tak begitu lihai mengayunkan sabit ke batang padi. Terasa kaku sekali. Hal ini pulalah yang membuat jari kelingking saya kena sabit. Seketika jari saya hampir terbelelah dua, darah mengalir deras tak kunjung berhenti.
Saya pun tak ikut lagi. Dari memanen saya beralih jadi juru antar padi yang telah dipanen. Saya harus mengangkut serta menyusun padi dari petak sawah ke tempat penghancuran bijinya.
Itulah yang kami lakukan di bawah terik matahari, di tengah angin sepoi-sepoi, dan di atas kubangan lumpur yang melumuri kaki.
Usai terkumpul, padi-padi itu segera dimasukkan ke dalam mesin penghancur padi yang kami sewa. Sudah menjadi wajar, mesin "rontok", begitu kami menyebutnya, adalah alat baru yang kami gunakan sekarang. Bukan seperti beberapa tahun lalu, yang masih memakai penghancur manual yang didesain khusus. Atau bahkan memukul-mukul padi yang butuh waktu cukup lama untuk menghabisinya.
Dengan mesin rontok, kumpulan padi yang begitu banyak dapat selesai dalam hitungan jam saja. Biaya sewa pun cukup terjangkau bagi para petani termasuk kami. Para petani cukup membayar Rp.10 ribu rupiah per karungnnya.