Mohon tunggu...
Sigit Budi
Sigit Budi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Content Creator

Pembuat konten video, host podcast , selebihnya pengangguran banyak acara

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Warung Kelontong, Benteng Terakhir HET Beras

23 Maret 2018   22:17 Diperbarui: 24 Maret 2018   09:09 2834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (sumber: KONTAN/Fransiskus Simbolon)

Keberadaan warung kelontong yang menyediakan aneka kebutuhan sehari -hari mulai dari beras, gula, kopi, sabun mandi, sabun cuci rambut jumlahnya melebihi outlet ritel modern. Kelebihan outlet tradisional ini (lawan dari outlet ritel modern) pada kedekatan lokasi  dengan perkampungan padat penduduk, meski kini outlet ritel modernjuga mulai merangsek ke kawasan itu. 

Namun persyaratan pembukaan ritel modern yang ribet, mulai dari perijinan, standar luas tanah dan bangunan dan posisinya harus  berhadapan dengan jalan  bisa dilewati mobil dua arah menghambat pertumbuhannya. Beda dengan warung kelontong, di beberapa kawasan padat penduduk keberadaannya banyak ditemui, meski jalan di depannya hanya bisa dilewati oleh kendaraan bermotor satu arah atau orang.

Fleksibilitas, inilah keunggulan warung kelontong, menurut databoks.katadata.co.id,di DKI Jakarta jumlah warung kelontong di tertinggi mencapai 50 ribu, wajar saja mengingat kepadatan dan jumlah penduduk juga tinggi di Ibukota dibandingkan provinsi lain. Meski saat ini jumlah warung ritel modern juga terus  meningkat di  Provinsi DKI Jakarta. 

Beberapa waktu lalau, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita melemparkan sebuah gagasan untuk merevitalisasi warung kelontong agar mampu bersaing dengan outlet ritel modern melalui modernisasi display dan  pengantaran (delivery)barang, pemabayaran secara online dan akses modal. Sayang masih tahap  pilot projectsehingga belum bisa dilihat kinerja dan efektifitasnya. Peran warung kelontong tak bisa diabaikan dalam distribusi barang kebutuhan pokok sehari - hari, pembeda utama dengan ritel modern adalah pembeli bisa beli kuantiti  satuan dan kemasan terkecil  (seperti shampo,  sabun cuci, kopi sachet-an).

Relevansinya dengan HET beras, masyarakat lebih leluasa membeli beras di warung - warung kecil karena fleksibel dengan uang di kantong, misalnya punya uang 10 ribu pun bisa membeli setengah liter/ kg tanpa ongkos tamabahan, pointadalah  biaya transportasi. Meski harga kebutuhan pokok di pasar tradisional lebih murah daripada di warung kelontong menjadi mahal ketika komponen biaya transportasi ditambahakan. 

Apalagi bila belanja barangnya  tidak signifikan volume dan kuantiti-nya. Pasar tradisional saat ini menjadi salah satu tolok ukur melihat fluktuasi harga kebutuhan pokok, termasuk beras. Memang cara paling mudah untuk menge-chek harga di lapangan adalah lewat indikator  ini, namun perlu diingat kebanyakan pembeli di pasar ini  untuk dijual lagi.  Artinya masih ada kesenjangan (disparitas) harga saat barang sampai ke tangan pembeli rumahan, dimana setiap daerah berbeda kesenjangannya. 

Kesenjangan Harga Beras dan Warung Kelontong

 Dalam bayangan saya, disparitasharga ini tidak terlalu lebar di kota - kota besar dan Pulau Jawa, tapi bagaimana daerah terpencil di Papua, Maluku, Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara ? Apalagi di daerah - daerah yang tidak termasuk dalam daftar lumbung padi nasional. Untuk memasok kebutuhan beras di sana pun perlu mendatangkan dari luar pulau, sudah pasti harga eceran teringgi (HET) di pasar tradisional wilayah tersebut tidak sama dengan di Pulau Jawa. Apalagi setelah beras tersebut dijual di warung - warung, bila lokasi warung masih dalam radius mudah dijangkau transportasi umum mungkin tak bemasalah, gawatnya bila tidak bisa dijangkau.  

Kita tidak dapat menutup mata geografi dan infrastruktur nasional masih jauh dari ideal, terbukti disparitas harga semen dan BBM eceran di Papua jauh lebih tinggi dibandingkan provinsi lain.  Sayangnya  soal harga beras eceran beras di warung -warung di Papua tidak ada yang memberitakan secara luas. Papua  adalah contoh kasus bagaimana infrastruktur mempengaruhi harga eceran kebutuhan pokok, termasuk beras. Baru pada era Joko Widodo, pemerintah secara serius menggalang kekuatan negara dengan program "Satu Harga"yang berbasis pemerataan dan keadilan.

infografik penghasil padi nasional (sumber: smartmoney.co)
infografik penghasil padi nasional (sumber: smartmoney.co)
Kementerian Perdagangan  memang sudah menerapkan sistim zonanisasiuntuk HET beras yang diberlakukan  tahun lalu.  Dengan kebijakan ini, Kemendag berusaha mengontrol harga beras mulai wilayah timur hingga barat Indonesia dan menerapkan klasifikasi beras, yakni kelas medium dan premium. Kelas medium paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat luas, sudah semestinya HET lebih rendah dari kelas premium. 

Menteri Perdagangan menjamin, kebijakan itu merata dan bisa dipantau di pasar tradisional becek dan pasar ritel modern, seperti dilansir Detik.com (01/09/2017), namun Enggartiasto melupakan peran warung kelontong dalam penetapan harga ini. Jumlah warung kelontong di Indonesia mencapai ratusan ribu, tentu lebih sulit mengontrol harga kebutuhan pokok di tiap warung  dibandingkan dengan jumlah pasar modern dan tradisional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun