Kenapa demikian, sudah terlalu lama di DKI Jakarta , sebagai ibukota Negara mengalami stagnasi di bidang infrastruktur dan pelayanan public, tak bisa dipungkiri terpilihnya Jokowi – Ahok sebagai Gubernur dan Wakil, wajah Jakarta mulai meretas seperti kota – kota metropolitan di Negara – Negara maju. Lepas dari gaya kepemimpinan Ahok, kenyataannya kebijakan Gubernur satu ini membuah hasil dan dapat dinikmati oleh rakyat kecil yang selama ini kurang dipedulikan.
Kelahiran seorang pemimpin sejati memang tidak bisa dibendung oleh siapa pun, apalagi di era keterbukaan dan demokrasi mata rakyat tidak ttertutup umtuk melihat kebenaran yang telah dilakukan oleh para pemimpinnya. Kita patut bersyukur akhirnya negeri ini dikrim Tuhan pemimpin – pemimpin yang berkomitmen tinggi, tanpa takut untuk berpihak kepada yang lemah. Di daerah pun kini sudah mulai karakter pemimpin – pemimpin seperti itu, di harapkan akan lebih banyak lagi memimpin daerah - daerah minus menjadi daerah surplus.
Melihat jalannya persidangan kasus reklamasi pantai utara di Pengadilan Tipikor dengan Ahok sebagai saksi, terlihat Ahok dengan gamblang menjelaskan kronologi dan referensi peraturan hokum yang melandasi keputusannya, dan diungkapkan pula proyeksi pendapat DKI Jakarta yang akan mencapai ratusan trilyun bila kontribusi tambahan 15 persen diberlakukan. Dipihak lain, DPRD DKI Jakarta kukuh untuk mempertahankan kontribusi tambahan 5 %. Memang patut menjadi pertanyaan, mengapa DPRD seolah membela para pengembang, padahal secara peraturan, pemerintahan terdiri dari Legislatif dan Eksekutif, dalam hal ini Pemda DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta. Sebuah logika yang cerdas dilontarkan Ahok dalam keterangannya sebagai saksi di Pengadilan Tipikor.
Fakta – fakta persidangan seperti menyulitkan DPRD DKI Jakarta untuk berkelit, apalagi Gubernur DKI Jakarta juga mempunyai referensi hokum yang cukup kuat tentang hak diskresi nya. Pada acara Jakarta Lawyer Club di TV One kemarin, ahli Hukum Tata Negara , Refly Harun sempat menyampai hak diskresi kepala pemerintahan di beberapa peraturan [perundangan. Secara akal sehat, kebijakan Ahok dengan bersikukuh terhadap kontribusi tambahan sebesar 15 persen tidak lah salah, sebab semua timbale balik dari pengembang rencana akan dimasukkan dalam kas rekening Pemda DKI Jakarta.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa DPRD DKI Jakarta kukuh dengan 5 persen? Seharusnya pengembang mencurigai kenapa DPRD DKI Jakarta membela kepentingan mereka, bila ditelaah dengan cermat , pengembang sebagai pengusaha akan rugi tanpa batas. Mengapa? Siapa yang menjamin DPRD DKI Jakarta tidak meminta kontribusi dari pengembang secara tidak resmi, apakah pengembang mampu mengendalikan semua suara di Kebon Sirih untuk tetap tutup mulut soal kontribusi di luar aturan Raperda? Sebagai pengusaha, akan lebih mudah bila memberikan “kick back” satu pintu dan ada payung hukumnya sehingga tidak menjadi kegaduhan di kemudian hari.