Mohon tunggu...
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Mohon Tunggu... -

Guru, penulis lepas, usia 32. Suka gitar, sastra, dan sinema. Buku terbaru: 366 Reflections of Life

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Rekam-Jejak Pengembaraan Buku

15 November 2010   03:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:36 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Sekitar awal tahun 2008, niat untuk mengulas sebuah buku mulai muncul dalam diri saya. Niat itu muncul karena sebelumnya saya suka membuat semacam catatan reflektif setelah menonton film. Ya, karena tak tahu banyak dengan hal-hal yang berhubungan dengan hal-hal teknis perfilman, sampai sekarang saya lebih suka menyebut catatan yang saya buat tentang film sebagai suatu refleksi berdasarkan film, bukan ulasan film. Melihat ulasan-ulasan di majalah film seperti Cinemags atau Movie Monthly saya yakin kalau catatan saya tentang film memang belum pas disebut ulasan film.

Nah, pada saat berhadapan dengan buku, saya tak menemukan banyak hal teknis yang terlalu membebani saya untuk mengulasnya. Kebetulan, beberapa tahun silam saya juga pernah membeli buku karya Daniel Samad yang berjudul Dasar-dasar Meresensi Buku. Setelah menemukan buku ini (kalau tidak salah sekitar tahun 2005-2006), saya pernah meresensi dua buku yaitu Di Bawah Sinar Lampu Merkuri karya Slamat P. Sinambela dan Diciptakan Seperti Sebuah Tarian karya Arie Saptaji untuk saya pajang di situs gratisan Geocities (fasilitas dari Yahoo!).  Namun, saya tak banyak menekuni resensi buku. Saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk menulis renungan atau refleksi berdasarkan film.

Tak seperti film, buku membuat saya lebih nyaman menyusun sebuah ulasan. Tantangan pertama datang dari guru menulis saya, Arie Saptaji. Dia bilang kalau saya sempat, buatlah sebuah resensi untuk sebuah bukunya, Warrior: Sepatu untuk Sahabat. Selama beberapa hari kemudian saya membaca buku itu, lalu meresensinya. Saya mencoba untuk mempublikasikan resensi itu di koran, tapi gagal dimuat.

Kegagalan itu mendorong saya untuk meresensi buku lebih baik lagi. Saya akhirnya bertemu dengan tiga guru lain, para resensor, yaitu Nur Mursidi, Hernadi Tanzil, dan Iqbal Dawami. Saya membaca dan mempelajari resensi-resensi mereka di blog mereka masing-masing. Saya belajar bagaimana cara mengirimkan resensi yang baik ke koran. Saya juga belajar satu hal yang menyenangkan, yaitu bagaimana memohon kiriman buku ke penerbit untuk dikirimkan buat saya, agar saya tidak selalu membeli buku yang mau diresensi. Saya jadi lumayan sering dapat buku gratis — asyik lho!

Nah, sejak awal tahun 2008 hingga Oktober 2010, inilah buku yang pernah saya buatkan resensi. Judul-judul di bawah ini tidak saya susun berdasarkan waktu pembuatan resensi, tapi secara acak. Bila berminat membaca, semua resensi ini dapat Anda temukan di blog saya, atau silahkan googling saja.

Buku-buku Fiksi:


  1. Warrior, Sepatu untuk Sahabat – Arie Saptaji
  2. Novel Pangeran Diponegoro, Menggagas Ratu Adil – Remy Sylado
  3. Pria Cilik Merdeka – Terry Pratchett
  4. My Life as a Fake – Peter Carey
  5. Kembang Jepun – Remy Sylado
  6. Ma Yan – Sanie B. Kuncoro
  7. Gajah Sang Penyihir – Kate DiCamillo
  8. Tangan untuk Utik – Bamby Cahyadi
  9. Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia – Agus Noor
  10. Garis Perempuan – Sanie B. Kuncoro
  11. Kumpulan Budak Setan – Eka Kurniawan, Intan Paramaditha, dan Ugoran Prasad
  12. Ciuman di Bawah Hujan – Lan Fang
  13. Teman Empat Musim – Ida Ahdiah
  14. Bob Marley – Kumpulan cerita Sriti.com
  15. Mata Keenam – Melody Carlson
  16. Guardians of Ga’Hoole (Diculik!) – Kathryn Lasky
  17. Olenka – Budi Darma
  18. Rani dan Tiga Harta Peri (Tinker Bell) – Kimberly Morris
  19. Demi Allah, Aku Jadi Teroris – Damien Dematra
  20. The Highest Tide – Jim Lynch
  21. Life of Pi – Yann Martel
  22. Sang Pencerah – Akmal Nasery Basral


Buku-buku Nonfiksi:


  1. Pacaran Asyik dan Cerdas – Arie Saptaji
  2. Simply Amazing – J. Sumardianta
  3. I Can (Not) Hear – Feby Indriani dan San C. Wirakusuma
  4. Cita-cita – Iqbal Dawami
  5. Dari Kepompong Menjadi Kupu-kupu – H.D. Iriyanto
  6. Peta 50, Tempat Makan Makanan Favorit di Malang – Haryo Bagus Handoko
  7. Mendongkel Yesus dari Takhta-Nya – Darrell L. Bock dan Daniel B. Wallace
  8. Sukses Wirausaha Laundry di Rumah – Haryo Bagus Handoko
  9. It’s a Wonderful Life – Arie Saptaji
  10. Amira and Three Cups of Tea – Greg Mortenson
  11. Darah-Daging Sastra Indonesia – Damhuri Muhammad
  12. The Power of Creativity – Peng Kheng Sun


Tiap buku memiliki kekhasan masing-masing. Ada buku yang begitu menyentuh seperti I Can (Not) Hear, It’s a Wonderful Life, Teman Empat Musim, atau Garis Perempuan. Ada buku yang tegang, imajinatif, dan membuat penasaran seperti Kumpulan Budak Setan, Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia, Olenka, Tangan untuk Utik, atau Life of Pi. Ada yang begitu inspiratif seperti Cita-cita dan Amira and Three Cups of Tea. Ada yang begitu ringan seperti dua buku yang ditulis oleh Haryo Bagus Handoko. Ada juga yang lumayan berat dicerna dan menantang seperti Ciuman di Bawah Hujan, Darah-Daging Sastra Indonesia, atau Mendongkel Yesus dari Takhta-Nya. Ada juga yang isinya campur-baur, namun tiap bagiannya memiliki keasyikan dan kenikmatan yang berbeda ketika dibaca seperti Bob Marley. Tidak bisa saya sebutkan semua kesan saya untuk semua buku di atas. Silahkan mampir ke resensi-resensi saya bila hendak tahu lebih jauh buku yang pernah saya ulas.

Masih ada enam buku, yaitu Keep Your Hand Moving karya Anwar Holid, The Ninth karya Ferenc Barnas, Beginning Theory karya Peter Barry, Bulan Celurit Api karya Benny Arnas, Musim yang Menggugurkan Daun karya Yetti A.Ka dan sebuah buku kumpulan puisi delapan penyair muda (disunting oleh Pringadi Abdi Surya) berjudul Teka-teki tentang Tubuh dan Kematian yang resensinya sudah saya buat, sedang saya buat, atau sedang saya rencanakan untuk diresensi sampai akhir Oktober. Buku yang sudah saya resensi belum bisa saya tampilkan secara online karena beberapa pertimbangan.

Dari pengalaman ini, saya beranggapan kalau meresensi buku tak selalu mudah. Kadang melelahkan. Saya mengindahkan prinsip yang dimiliki oleh Hernadi Tanzil, guru saya itu. Ia berkata suatu waktu kepada saya saat kami chatting, “Saya tidak akan meresensi buku sebelum saya selesai membacanya.” Buku yang tebalnya ratusan halaman, dibaca beberapa minggu, lalu dibuatkan resensinya, belum tentu dimuat koran. Membacanya saja kadang melalahkan bila kondisi pikiran dan tubuh lagi tak menentu. Belum lagi mendapat kenyataan kalau resensi itu ditolak. Tapi, itulah yang sering saya alami: resensi yang sudah saya buat di atas lebih banyak yang ditolak koran daripada yang dimuat. Mungkin analisis saya kurang tajam, atau bahasanya kurang mantap, atau apalah. Yang jelas dan pasti, keputusan memuat resensi ada di redaktur koran, dan mereka yang lebih tahu jawaban mengapa sebuah resensi layak dimuat atau ditolak.

Namun, terlepas dari semua penolakan yang pernah saya terima, saya menganggap meresensi buku sebagai pekerjaan yang mengasyikkan. Saya suka melakukannya di warung kopi. Ruang kamar kos saya kadang begitu tampak membosankan: empat tembok yang sama selalu saya hadapi. Di warkop ada suasana berbeda yang asyik buat meresensi buku. Nah, pekerjaan apa lagi yang dapat saya lakukan di warkop selain meresensi buku — daripada tengak-tenguk seperti orang stres?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun