Stereotipe tentang sebuah pekerjaan bisa jadi dianggap benar bagi sebagian masyarakat yang masih mengedepankan gengsi. Kerap kali muncul kalimat-kalimat yang seolah-olah membenarkan hal tersebut.
‘Percuma sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga’
‘Percuma jadi sarjana jika akhirnya jadi tukang ojek’
‘Sia-sia menempuh gelar Master kalau pekerjaannyaa tidak sesuai bidang’
Masih banyak lagi profesi yang dipandang tidak layak bagi para lulusan Perguruan Tinggi. Baik setingkat S-1, S-2, bahkan S-3 sekalipun. Entah itu buruh, sales, penagih hutang, pedagang eceran, tukang keliling, atau yang paling parah pengangguran total.Â
Stereotipe masyarakat seperti sudah terbentuk. Semakin tinggi pendidikan formal yang ditempuh, semakin baik pula pekerjaan yang seharusnya didapat. Stereotipe pekerja kantoran pun terlihat lebih berkelas. Penampilan yang rapi menimbulkan pandangan ‘baik’ bagi masyarakat sekitar.
Lantas, salahkah dengan pekerjaan yang semestinya tidak harus menuntut pendidikan tinggi? Ibu rumah tangga misalnya, buruh, dan lain sebagainya. Inilah yang harus diluruskan.
Kita tidak menampik. Pendidikan di Indonesia masih berbasis teori. Pola yang terjadi, Â bila lulus sekolah atau Perguruan Tinggi, para almamater dituntut harus mencari pekerjaan.Â
Baik di kantor swasta maupun kantor Pemerintahan. Bayangkan, berapa banyak almamater bersaing merebut peruntungan melalui lowongan kerja yang terbatas.Â
Selain bersaing antar sesama jurusan, antar jurusan, ataupun antar perguruan, mereka pun bersaing antar sesama alumnis. Istilahnya bertarung nasib. Beberapa mendapatkan kesempatan baik, selebihnya terlempar. Yang terlempar mau tidak mau akan mencari tempat lain yang memungkinkan bisa mendapatkan pekerjaan secara cepat meskipun sangat jauh dari bidang ilmu yang dienyam.Â
Selebihnya lagi masih berjuang lintas jalur. Pada akhirnya harus mengalah terhadap pilihan yang tersisa. Â Tak jarang kita akan menemui profesi jalanan adalah orang-orang lulusan pendidikan tinggi.Â