Mohon tunggu...
Shulhan Rumaru
Shulhan Rumaru Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Aksara

Penikmat Aksara

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Manajemen Reputasi PPP

18 Maret 2019   21:21 Diperbarui: 19 Maret 2019   00:18 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar diambil dari tribunnews

Petaka kembali menerpa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) akibat terciduknya Ketua Umum Romahurmuziy (Rommy) oleh KPK dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) terkait dugaan kasus jual beli jabatan di kementerian agama. Kasus ini, sekonyong-konyong mengingatkan kita pada kasus korupsi Al-Quran oleh Surya Darma Ali ketika ia menjadi orang nomor satu PPP.

Tertangkapnya Rommy di Surabaya, 15 Maret kemarin, mengindikasikan masalah serius yang mesti diselesaikan PPP dalam waktu dekat ini karena akan berefek pada beberapa hal penting:

Pertama, elektabilitas PPP diperkirakan bakal merosot. Terlebih, di tengah elektabilitas yang belum jua beranjak dari dua koma. Dari 8 lembaga survei yang merilis hasil suvei pada September 2018 lalu, elektabilitas PPP masih cenderung di bawah 4 persen. Hal ini akan berpengaruh pada peluang PPP untuk menembus parliamentary threshold (PT) yang sudah ditetapkan 4 persen.

Kedua, memburuknya citra partai lantaran kembali diingatkan pada kasus korupsi yang juga pernah dilakukan ketum sebelum Rommy. Luka lama konstituen maupun simpatisan kembali menganga, padahal di era Rommy, citra partai sudah cukup membaik. Meskipun kini Rommy sudah dipecat dan digantikan Suharso Monoarfa Pelaksana Tugas, bukan berarti citra partai akan segera membaik sebab jabatan Rommy yang dulu ketum partai tetap memiliki efek domino bagi partai.

Ketiga, berpotensi merusak koalisi TKN. PPP harus menyadari bahwa kasus Rommy akan merugikan kubu Jokowi, sehingga perlu langkah cepat untuk menangani persoalan ini dan akan kian merugi jika didepak dari koalisi. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, sudah minim elektabilitas, mantan ketum bermasalah, dan kalau "jauh" dari koalisi TKN, maka ruginya berkali-kali lipat. Apalagi, Jokowi dikenal tak kompromi perkara korupsi dan masalah hukum (seperti kasus Ahok, Setnov, Idrus M dll), maka keputusan Jokowi akan berdampak pada nasib PPP berikutnya. Sehingga, kalkulasi politik PPP harus mapan dan terukur.

Masalah ini, menuntut para politisi PPP dan seluruh stakeholders untuk mengembangkan model komunikasi interaksional dan transaksional dengan cermat, tepat dan proporsional. Manajemen konflik harus dijalankan oleh PPP guna mengamankan reputasi partai yang kini tengah dianggap buruk.

Dalam perspektif teori informasi organisasi dari Karl Wieck dalam The Social Psychology of Organizing (1979), dikenal dua strategi komunikasi agar organisasi mampu mengurangi ketidakpastian terutama saat konflik seperti dialami PPP saat ini. Kedua hal tersebut adalah siklus perilaku komunikasi dan aturan bersama (Gun Gun Heryanto: Problematika Komunikasi Politik, 2018).

Siklus perilaku membutuhkan prosedur aksi (act), interaksi atau respons (interact), dan penyesuaian (adjustment). Siklus komunikasi ini memungkinkan para politisi yang bertikai atau sedang dalam masalah, melakukan klarifikasi terhadap hal-hal yang belum jelas yang tengah dipertanyakan publik.

Selain itu, dalam tahap menghadirkan aturan bersama menyagkut dua hal. Pertama, aturan durasi.Partai harus menyelesaikan masalah ini dalam waktu singkat. Meski langkah cepat sudah dilakukan dengan memecat Rommy, tapi PR berikutnya masih ada yakni efek domino dari kasus ini, seperti perkara elektabilitas yang kini mengkhawatirkan dan mungkin saja akan memburuk lagi pasca OTT Rommy.

kedua, aturan keberhasilan. Biasanya menggunakan rujukan proses komunikasi di masa lalu yang terbukti efektif dalam mengurangi ketidakpastian informasi. Gonjang-ganjing informasi yang berseliweran ini juga perlu dipantau, jangan sampai ada kelompok lain yang menunggangi kasus ini sekaligus adanya upaya pembusukan citra partai.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun