Mohon tunggu...
Cahaya
Cahaya Mohon Tunggu... Lainnya - Dualisme Gelombang-Partikel

Penyuka pohon johar, cahaya matahari, dan jalan setapak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Seusai

20 November 2017   07:03 Diperbarui: 20 November 2017   07:56 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gundukan tanah merah. Aku berlari ke atasnya. Seperti ketika kecil dulu. Sering kali menanjaki timbunan pasir yang berjajar di antara jalanan pulang sekolah menuju rumah. Jika tidak di depan rumah Pak RT, gunung pasir itu pasti berada di depan sekolah kakak. Mencoba mendakinya dengan susah payah. Seolah-olah sedang berada di gunung sungguhan. Ke sana ke mari berulang-ulang hingga seseorang datang menegur. Kadang ibu guru, kadang juga anak sekolah berseragam putih merah. Yang pasti bukan teman kakak. Teman kakak selalu hanya akan membiarkan. Alih-alih mencubiti pipiku lantas mengajak bercerita. 

Jika sudah begitu aku akan betah berlama-lama di pelataran. Menunggu jam sekolah kakak berakhir lalu pulang bersama-sama. Lain cerita jika yang menegur seorang bapak guru. Aku pasti selalu tahu ke mana jalan menuju rumah. Sesampainya di rumah. Wajah mama selalu menyambut semeringah. Menanyakan pelajaranku hari ini; hal-hal yang kulakukan selama di sekolah; hingga mengapa tidak pulang bersama kakak. Lalu aku akan menjawab kalau tadi ditegur sama bapak guru berkumis tebal yang agak mirip dengan bapak. Baik kumisnya maupun galaknya. 

Bapak selalu lebih galak dari siapa pun. Dia melarang itu dan ini. Hingga ketika aku sudah sebesar sekarang, bapak masih saja keluar rumah dengan tampang sangar. Berjongkok dari balik timbunan tanah, aku memerhatikan bapak yang sedang mengedarkan pandangan ke sekitar. Mencari anak perempuannya yang telah berusia seperempat abad tetapi masih suka bermain di timbunan tanah, seperti anak kecil. Selalu berusaha sembunyi. 

Namun mata bapak lebih awas dari lensa pada teropong bintang. Bapak pasti bisa menemukanku. Entah karena aku yang tak lihai menyembunyikan badan atau sebab tempat persembunyianku yang memang hanya itu-itu saja. Mungkin keduanya. Tapi kurasa bapak memang memiliki naluri mesin pencari semisal google. 

"Tidak usah sembunyi dan cepat kemari!" teriak bapak. 

Aku berhenti memunggungi gundukan tanah. Memunculkan kembali badanku ke atas, lantas berlari cepat menuju beranda sebelum suara bapak terdengar untuk kedua kalinya. Cambuk di tangan kanan bapak lebih menakutkan dari mimpi buruk mana pun. Terakhir kali menggunakannya ketika tamat SMP. 

Masuk SMA bapak selalu bilang kalau aku sudah dewasa. Sudah pandai membawa diri. Sudah pandai menegur diri sendiri. Dan---sepertinya---bapak tidak sepenuhnya benar. Sebab keinginan bermain pasir masih kerap kali mengetuk untuk kukunjungi sekali waktu. Seperti sore ini. Sepulang memberi les matematika, aku menuju gundukan tanah merah di samping sekolah. Tidak jauh dari tempat bapak berdiri sekarang. Memegang cambuk rotan yang sudah lama sekali tidak digunakan. 

Semoga ini mimpi buruk, pintaku dalam hati. Atau paling tidak, bapak tak menggunakan benda itu untuk memukulku. Mengingat sekarang statusku adalah seorang penata muda. Baru terangkat tiga bulan yang lalu. Walau sampai hari ini SK belum juga keluar. 

"Sudah kepala dua ... sudah PNS ... tapi masih juga main kayak anak kecil!" Bapak berteriak. Persis ketika dulu waktu aku masih kecil. "Sana bantu mamamu masak!" hardik bapak seraya melayangkan cambuk rotannya ke udara. 

Aku berlari secepat mungkin menuju dapur, sebelum cambuk itu menciumi betisku. Di sana sudah ada mama. Merajang bawang putih dengan wajah seteduh awan. Wajah mama selalu begitu. Teduh. Jarang sekali melintas awan gelap di sana. Hanya beberapa kali saja. Salah satunya adalah ketika aku harus ke Tanah Papua untuk mengabdi setahun. Mengikuti program pemerintah guna memberantas buta aksara. Sepulang dari sana, aku lulus sebuah tes CASN yang diadakan kementerian. 

"Aku masukkin minyaknya ya, Ma?" tanyaku setelah melihat penggorengan di atas kompor yang mulai panas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun