Sejak berminggu- minggu yang lalu aku sudah menyimak begitu banyak kabar dan berita tentang mereka yang tetap mengucapkan janji sucinya di tengah pandemi yang belum juga kunjung usai.Â
Biasa- biasa saja, dan wajar- wajar saja. Aku juga beralibi, takkan menjadi masalah ketika akad nikah atau pemberkatan dilakukan dengan segala ketentuan  protokol kesehatan yang ada.Â
Hanya boleh disaksikan secara langsung oleh segelintir orang, dilakukan dengan cepat dan seefektif mungkin hingga mungkin beberapa bagian romantis pada prosesi ini ada yang terpaksa dihilangkan.
Tapi sejak tadi malam, rasanya agak berbeda. Mulai ada sedih yang terasa. Ya, salah satu yang pertama dari kami berempat akan melaksanakan akad nikah. Itu artinya dia akan punya seorang lelaki yang siap pasang badan untuk melindungi dan membahagiakannya setelah bapak.Â
Yang akan memilikinya sepenuhnya, menjadi seorang istri. Yang akan menjadi 'bayi besar' nya, menemani sepanjang hari, bermanja sepanjang waktu. Dan sudah saatnya, mau ataupun tidak, kami bertiga juga harus merelakan sebagian perhatian dan waktunya untuk pak suami. Ya, salah satu fase menuju dewasa sepenuhnya  yang sepertinya akan mengubah sebagian besar kehidupan pada tiap-tiap manusia.
Kami berempat memang banyak menghabiskan waktu bersama. Kami  saling mengenal sejak September 2014, hingga sekarang, menjelang enam tahun, bahkan hampir selalu terlibat dalam kegiatan yang sama selama empat tahun.Â
Setiap hari berjumpa, setiap hari bersama, mulai dari sekedar makan kulit goreng Bu Egom sambil bercanda, sampai saling bersama dan menguatkan saat ada pada titik- titik rendah dalam hidup.Â
Saling hujat tapi sayang. Saling menertawakan tapi peduli. Ya, begitulah kira- kira. Meski kini terpisah jarak ratusan kilometer, semoga tidak memudarkan apa yang sudah kami jalin di hati, hingga nanti suatu saat semua sudah menemukan tambatan hati, memiliki buah hati, atau bahkan, sudah saling beruban dan saling menua.
Tadi malam, sejak pukul delapan hingga pukul sebelas, kami menghabiskan waktu seperti 'malam lajang' melalui video call. Apa yang dibahas? sebenarnya hampir 80% adalah hal- hal yang tidak penting.Â
Bukan apa- apa, kami tahu bahwa sahabat kami yang satu ini orangnya panikan. Jadi kami mencari topik bahasan yang bisa membuatnya tertawa dan relaks. Benar- benar malam lajang yang terakhir, sampai dia tertidur, benar- benar tertidur, lalu kami mematikan sambungan telepon.Â
Sangat aneh rasanya. Sungguh. Biasanya kami selalu saling ada saat melewati momen- momen penting. Ada dalam bentu raga, maksudnya. Kalau ada di hati, tak perlu ditanyakan lagi.