Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dari Jokowi untuk Betawi

2 Januari 2013   08:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:38 2566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rabu (2/1/2013) menjadi hari bersejarah bagi orang betawi di Jakarta. Gubernur Jakarta, Joko Widodo secara resmi mengeluarkan kebijakan mengenai penggunaan seragam khas betawi bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 209 Tahun 2012.

Pegawai laki-laki menggunakan baju sadariah (baju koko dengan peci hitam dan sarung melingkar di leher), sedangkan pegawai perempuan mengenakan kebaya krancang dengan kain sarung pucuk rebung sebagai bawahan. Seragam ini akan digunakan setiap hari rabu oleh seluruh pegawai, mulai dari tingkat Provinsi hingga ke Kecamatan dan Kelurahan.

[caption id="attachment_225388" align="alignright" width="300" caption="Contoh baju betawi, yang akan digunakan oleh PNS DKI Jakarta"][/caption]

Proses penetapan kebijakan ini boleh dibilang amat cepat. Sejak awal dilantik sebagai gubernur, Jokowi memang sudah menegaskan komitmennya untuk memperhatikan kebudayaan betawi. Maka, dengan mengundang sejumlah tokoh betawi di bawah koordinasi Bamus Betawi, mulai dirancanglah desain model baju yang akan digunakan. Hanya dalam waktu kurang dari dua bulan, kebijakan tersebut akhirnya ditetapkan.

Selain soal penggunaan seragam khas daerah, Joko Widodo juga punya sejumlah janji lain untuk masyarakat betawi di ibukota. Di antaranya adalah soal revitalisasi kawasan budaya betawi di Setu Babakan. Selain itu, beliau juga pernah berujar bahwa gedung-gedung di Jakarta harus memiliki nuansa betawi sebagai ciri khas.

Satu janji sudah ditunaikan, janji lain menanti untuk segera direalisasikan. Popularitas Jokowi dipastikan akan melambung di kalangan masyarakat Betawi. Boleh jadi beliau akan mulai dipanggil dengan sebutan “Bang Joko”, sebagai simbol telah diterima dalam komunitas masyarakat pribumi Jakarta.

Meski demikian, sejatinya kaum betawi jangan terlalu senang dulu. Jika diperhatikan, sesungguhnya kebijakan gubernur baru tersebut belumlah benar-benar menyentuh langsung terhadap nasib kaum betawi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama ini orang betawi termarjinalkan.

Marjinal di sini dapat diartikan secarafisik, di mana orang betawi semakin terdesak ke daerah pinggiran. Juga dapat dimaknai marjinal secara sosial politik. Nyaris tidak ada yang memperhatikan eksistensi kaum betawi. Oleh karena itu, di bawah kepemimpinan gubernur baru, kita boleh menggantungkan asa agar kaum betawi bisa menjadi tuan rumah di kampungnya sendiri.

Kita harus apresiasi komitmen gubernur Jakarta untuk melestarikan kebudayaan betawi. Namun, yang lebih dibutuhkan orang betawi saat ini bukan sekadar keputusan untuk penggunaan baju daerah ataupun atribut bangunan. Hal mendasar yang diharapkan adalah keberpihakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap masyarakat Betawi.

Keberpihakan itu terutama diarahkan dalam aspek-aspek mendasar, misalnya pendidikan dan ekonomi. Sehingga kelak, anak betawi tidak cuma menjadi penonton atas kesuksesan pembangunan di kampungnya.

1357115140865190547
1357115140865190547

Pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi Jokowi adalah penyadaran terhadap orang betawi. Pada sebagian kalangan di masyarakat betawi, keterpinggiran mereka lebih disebabkan oleh faktor internal. Misalnya tidak terlalu menganggap penting pendidikan, etos kerja yang rendah, dan kebergantungan terhadap faktor alam dan warisan.

Mengacu pada teori N’ach (need for achievement) yang pernah dikemukakan oleh David McClelland, ‘kebutuhan berprestasi’ masyarakat betawi amat rendah. Padahal, kemajuan peradaban kelompok masyarakat sangat ditentukan oleh nilai-nilai dan motivasi yang mendorong untuk mengeksploitasi peluang, untuk meraih kesempatan. Secara sederhana, dapat dikatakan dorongan/hasrat untuk mengubah nasib sendiri.

Tantangannya sekarang adalah bagaimana meningkatkan N’ach orang betawi, karena bagi mereka yang mempunyai dorongan N’ach tinggi akan bekerja lebih keras, belajar lebih giat, dan sebagainya.

Kombinasi antara faktor internal dan eksternal niscaya akan membawa perubahan signifikan terhadap eksistensi kaum betawi di ibukota. Jalan menuju ke sana masih panjang, namun harus dimulai dari sekarang. Mari kita nantikan, gebrakan selanjutnya: dari Jokowi untuk Betawi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun