Mohon tunggu...
Sheila Nadia
Sheila Nadia Mohon Tunggu... Universitas Gunadarma

Memiliki passion dalam menulis yang dapat meningkatkan pengetahuan untuk para pembaca. ingin memberikan informasi yang bermanfaat, menarik dan terkini berdasarkan kreatifitas sendiri. Selain itu, saya mengisi waktu luang dengan mengikuti perlombaan menulis baik nasional dan internasional dan mengikuti kegiatan komunitas lainnya untuk menunjang kemampuan saya dalam menulis.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Jakarta Tenggelam : Menghadapi Krisis Iklim Ibukota

17 Juli 2025   22:03 Diperbarui: 17 Juli 2025   22:03 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monas (Monumen Nasional di Jakarta)

Jakarta, jantung Indonesia, kini terjebak dalam krisis iklim. Banjir terus-menerus, penurunan tanah hingga 39 cm per tahun, dan kenaikan permukaan laut mengancam ibu kota. Jakarta bagaikan dua sisi koin: pusat kehidupan sekaligus penyumbang bencana saat hujan tiba. Kenaikan air laut mengancam masa depan ekonomi kota, namun harapan masih ada melalui kolaborasi global, lokal, dan aksi masyarakat.

Krisis Iklim dan Urbanisasi

Penggunaan air bersih berlebihan, penebangan hutan, dan urbanisasi tak terkendali meningkatkan suhu udara dan mempercepat erosi tanah. Alih fungsi lahan hijau menjadi pemukiman membuat Jakarta rentan terhadap pemanasan global dan curah hujan tinggi. Pembangunan gedung tinggi dan pemukiman ilegal di bantaran sungai, seperti Ciliwung, memperparah polusi karbon dan banjir.

Pada 2025, laporan BMKG mencatat Indonesia memasuki fase ENSO dan IDO, dengan curah hujan di atas normal, melebihi 100 mm per hari. Gelombang Kelvin dan perlambatan angin di Jawa Barat memicu hujan besar, mengubah Jakarta menjadi "kota sungai". Banjir menyebabkan kerugian Rp 1,69 triliun akibat rusaknya infrastruktur, terganggunya transportasi, dan hancurnya aktivitas ekonomi.

Ancaman Kesehatan dan Ketimpangan Sosial

Banjir bukan hanya bencana alam, tetapi juga krisis kesehatan dan ketimpangan sosial. Genangan air tercemar memicu penyakit seperti diare dan demam berdarah, yang melonjak 20% pasca-banjir. Masyarakat miskin di bantaran sungai menjadi korban utama, tinggal di rumah sederhana tanpa saluran pembuangan memadai, terpaksa menggunakan air sungai tercemar. Banjir 2020 merusak 112 fasilitas kesehatan, meninggalkan warga tanpa perlindungan. Urbanisasi memperdalam ketimpangan, dengan pemukiman ilegal di zona banjir rentan terhadap kerugian harta dan mata pencaharian, sementara kelas menengah atas dapat pindah ke daerah aman.

Upaya Pemerintah dan Teknologi

Pemerintah DKI Jakarta melawan krisis dengan proyek seperti Giant Sea Wall (NCICD) senilai $40 miliar untuk melindungi kota dari banjir rob dan kenaikan air laut. Normalisasi sungai, pengelolaan air tanah, dan penghijauan kota menjadi pilar utama mengatasi penurunan tanah dan polusi 13 sungai. Teknologi satelit dan AI membantu memetakan pola hujan dan aliran sungai secara real-time. Pemindahan ibu kota ke Nusantara menjadi strategi jangka panjang untuk mengurangi kepadatan penduduk.

Kolaborasi Global dan Lokal

Kolaborasi global, seperti pendanaan World Bank untuk NCICD, dan inisiatif lokal seperti Masyarakat Peduli Iklim, mendorong solusi inovatif seperti pengelolaan sampah dan transportasi rendah karbon. Namun, tantangan seperti penataan kota buruk dan rendahnya kesadaran iklim (hanya 20% warga miskin paham isu ini, menurut WALHI 2023) mempersulit adaptasi. Resistensi terhadap relokasi ke rusunawa juga menghambat upaya.

Bersama Selamatkan Jakarta

Jakarta berada di persimpangan: tenggelam atau bangkit. Mengurangi plastik, menggunakan transportasi umum, dan menanam pohon adalah langkah kecil menuju masa depan hijau. Kolaborasi warga, komunitas, dan dunia internasional dapat menjadikan Jakarta kota tangguh, menulis babak baru dari ancaman tenggelam menuju ketahanan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun