Pendahuluan: Permintaan Global yang Terus Meningkat
Permintaan global akan udang vannamei (Litopenaeus vannamei) terus meningkat seiring kesadaran konsumen akan protein hewani bernilai gizi tinggi. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), produksi udang dunia mencapai 5,8 juta ton pada 2021, dengan konsumsi utama di Amerika Serikat, Tiongkok, dan Eropa. Indonesia, sebagai produsen udang terbesar ketiga di dunia setelah India dan Ekuador, memiliki peluang emas untuk memperluas pasar internasional. Sayangnya, potensi ini belum dimaksimalkan secara optimal.
Posisi Strategis Indonesia dalam Produksi Udang VannameiÂ
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2022, produksi udang vannamei Indonesia mencapai 1,15 juta ton, memberikan kontribusi sekitar 20% terhadap produksi global. Wilayah seperti Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat menjadi sentra budidaya dengan teknologi intensive super-intensive yang meningkatkan produktivitas. Â
Namun, penelitian dari Journal of Aquaculture, (2023) mencatat bahwa produktivitas Indonesia masih kalah dari Ekuador, yang telah mencapai 18-20 ton per hektar per siklus, sedangkan Indonesia rata-rata hanya 12--15 ton. Faktor seperti kualitas benur (benih udang) dan manajemen pakan menjadi penyebab utama  produksi udang vannamei sulit dioptimalkan.Â
Capaian Ekspor Udang Vannamei Indonesia: Fakta dan AngkaÂ
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melaporkan nilai ekspor udang Indonesia pada 2023 mencapai USD 2,1 miliar, dengan pasar utama Amerika Serikat (35%), Tiongkok (25%), dan Jepang (15%). Meski angka ini tumbuh 8% dibanding 2022, Indonesia masih tertinggal dari India yang mengekspor USD 7,3 miliar. Â
Penyebab utama adalah dominasi produk mentah (raw frozen shrimp) sebesar 70%, yang memiliki nilai tambah rendah dibandingkan produk olahan seperti butterfly shrimp atau value-added products (VAPs). Studi dari Universitas Brawijaya (2022) menunjukkan bahwa diversifikasi produk dapat meningkatkan harga jual hingga 40%. harga jual ini tentunya akan memberikan dampak signifikan terhadap nilai ekspor udang Indonesia
Tantangan yang Masih MenghambatÂ
1. Penyakit dan Kualitas Benur: Wabah White Spot Syndrome Virus (WSSV) dan Early Mortality Syndrome (EMS) masih menjadi ancaman. Menurut jurnal Aquaculture Research (2021), kerugian akibat penyakit ini mencapai Rp 2 triliun per tahun. Â
2. Infrastruktur dan Logistik: Biaya distribusi udang dari sentra produksi ke pelabuhan mencapai 25% dari harga jual, lebih tinggi dari biaya India yang hanya 15%. Â
3. Sertifikasi Internasional: Hanya 30% perusahaan udang Indonesia yang memiliki sertifikasi Aquaculture Stewardship Council (ASC), sehingga kesulitan masuk pasar Eropa yang ketat regulasi. Â