TIGA daerah di Provinsi Jambi pada tahun 2017 akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) diantaranya, Sarolangun, Muarojambi dan Tebo. Para calon kepala daerah (cakada) di tiga kabupaten pemekaran ini sudah barang tentu akan bertarung habis-habisan untuk menjadi pemenang. Namun demikian, untuk mencapai puncak kemenangan itu, cakada wajib belajar dari pengalaman Pilkada jilid I, sehingga tidak akan terbawa arus emosi dan bisikan dari tim sukses (timses) serta merta mengguggat kekalahan perolehan suara ke Mahkamah Konstitusi (MK), karena Cakada harus berpikir panjang untuk mengajukan sengketa Pilkada ke MK bila tidak memenuhi persyaratan materi gugatan sebagaimana dikehendaki UU Pilkada dan Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 5 Tahun 2015.
Untuk diketahui, putaran pertama pilkada di Provinsi Jambi tahun 2015 lalu diikuti lima kabupaten yakni, Batanghari, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Bungo dan Kota Sungai Penuh. Dari lima daerah tersebut, hanya tiga daerah yang mengajukan gugatan sengketa Pilkada ke Mahmakah Konstitusi (MK) adalah pasangan Herman Muchtar – Nasrun Joher (Kota Sungai Penuh), Sudirman Zaini – Ardiansyah (Bungo) dan Sinwan – Arzanil (Batanghari). Sedangkan pasangan yang kalah di Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur menerima hasil keputusan yang ditetapkan oleh masing-masing KPU kabupaten setempat.
Mengacu kepada Putusan MK-RI No. 90/PHP-BUP-XIV/2016 atas perselisihan hasil pemilihan (PHP) Pilkada Bungo, Putusan MK-RI No. 124/PHP-BUP-XIV/2016 atas perselisihan hasil pemilihan (PHP) (Batanghari), Putusan MK-RI No. 143/PHP-BUP-XIV/2016 perselisihan hasil pemilihan (PHP) Â Pilwako Sungai Penuh, ketiga permohonan gugatan tersebut pada putusan tidak dapat diterima oleh MK, karena tidak memenuhi persyaratan pasal 158 ayat 2 UU No. 8 Tahun 2014 dan pasal 6 ayat dan 3 Peraturan MK No. 5 Tahun 2015.
Untuk pilkada Bungo, alasan tidak diterimanya gugatan pemohon pasangan Sudirman Zaini – Ardiansyah, karena selisih suara antara Pasangan Mashuri – Syafruddin Dwi Aprianto dengan pemohon adalah 18,17 persen. sementara batas maksimal adalah 1,5 persen seperti ditegaskan dalam pasal 158 ayat 2 huruf b UU No. 8 Tahun 2014 dan pasal 6 ayat 2 huruf b Peraturan MK No. 5 Tahun 2015.
Begitupun dengan Pilkada Batanghari, MK juga tidak menerima gugatan pemohon pasangan Sinwan - Arzanil karena selisih suara antara pasangan Syahirsah SY – Hj. Sofia Joesoef adalah 3,77 persen. Sementara batas maksimal adalah 1,5 persen seperti ditegaskan dalam pasal 158 ayat 2 huruf b UU No. 8 Tahun 2014 dan pasal 6 ayat 2 huruf b Peraturan MK No. 5 Tahun 2015.
Sementara pada Pilwako Sungai Penuh, gugatan pemohon pasangan Herman Muchtar – Nuzran Joher juga tidak dapat diterima MK, karena selisih suara antara Asafri Jaya Bakri – Zulhelmi dengan pemohon adalah 28,99 persen. Sementara batas maksimal adalah 2 persen seperti ditegaskan dalam pasal 158 ayat 2 huruf a UU No. 8 Tahun 2014 dan pasal 6 ayat 2 huruf a Peraturan MK No. 5 Tahun 2015.
Sementara itu, bila melihat revisi UU Pilkada yang telah disetujui DPR bulan Juni 2016 lalu, tidak revisi yang bersentuhan langsung dengan pasal 158. Dari revisi itu tercatat ada 21 poin perubahan, yakni:
1. Pasal 7 tentang pencalonan huruf s dan huruf t, Menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota DPR, DPD dan DPRD, dan sebagai anggota TNI, Kepolisian, PNS dan kepala desa sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta pemilihan.
2. Pasal 9 Tugas dan wewenang KPU poin a. Menyusun dan menetapkan PKPU dan pedoman teknis pemilihan setelah berkonsultas dengan DPR dan pemerintah dalam RDP yang keputusannya mengikat.
3. Pasal 10 ayat b1, KPU melaksanakan dengan segera rekomendasi dan atau putusan Bawaslu mengenai sanksi administrasi pemilihan.
4. Pasal 16 ayat 1a, seleksi anggota PPK dilaksanakan secara terbuka dengan memperhatikan kompetensi, kapasitas, integritas, dan kemandirian calon anggota PPK.