Mohon tunggu...
shaki
shaki Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa semester 2 program studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Budaya Korupsi: Warisan Beracun yang Membelenggu Indonesia

6 Juni 2025   16:20 Diperbarui: 6 Juni 2025   16:12 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Korupsi bukan sekadar kejahatan hukum di Indonesia. Ia telah menjelma menjadi bagian dari budaya. Warisan sejarah yang terus membayangi perjalanan bangsa ini hingga kini.

Sejarah mencatat bahwa sejak masa penjajahan, praktik korupsi sudah tumbuh subur. Pekerja rodi yang dijanjikan upah kerap kehilangan hak mereka akibat penggelapan yang dilakukan birokrat pribumi. Loyalitas pada kekuasaan lebih diutamakan ketimbang kejujuran. Budaya ini bertahan dan bertransformasi, menciptakan hubungan penguasa-pengikut yang terus berulang dalam politik dan birokrasi modern. Dalam masyarakat feodal yang ditinggalkan kolonialisme, relasi kekuasaan cenderung berpusat pada figur pemimpin, bukan pada sistem hukum. Konsep "asal atasan senang" menumbuhkan perilaku permisif terhadap pelanggaran etika dan hukum. Sayangnya, nilai-nilai ini tidak menghilang seiring kemerdekaan; malah, dalam banyak kasus, ia beradaptasi dengan sistem baru yang lebih kompleks.

Sayangnya, kisah itu belum berakhir. Dalam skandal yang ramai diberitakan oleh media seperti Tempo (2024), dugaan korupsi yang dilakukan PT Pertamina memperlihatkan betapa rapuhnya integritas di institusi strategis. Praktik manipulasi impor minyak mentah dan pencampuran bahan bakar berkualitas rendah menyebabkan kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah refleksi budaya lama yang tak kunjung dibongkar. Kasus ini menunjukkan betapa korupsi di Indonesia bukan semata-mata tentang individu serakah, tetapi tentang sistem sosial yang memperbolehkan dan bahkan melanggengkan tindakan tersebut. Ketika korupsi dianggap "biasa saja" atau "semua juga begitu", maka praktik itu akan terus berkembang, bahkan di tengah upaya reformasi dan penegakan hukum.

Dampaknya terasa luas: Ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah semakin menguat. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2023 pun menunjukkan penurunan, menandakan bahwa masyarakat semakin skeptis terhadap komitmen pemberantasan korupsi. Secara ekonomi, korupsi membebani anggaran negara, mengurangi efektivitas pembangunan, dan memperlebar jurang ketimpangan sosial. Secara sosial, budaya korupsi menciptakan masyarakat yang sinis, apatis, dan permisif terhadap ketidakadilan.

Indonesia tidak sendirian dalam menghadapi budaya korupsi. Banyak negara yang pernah mengalami situasi serupa. Korea Selatan, misalnya, juga pernah bergelut dengan korupsi sistemik pasca-perang. Namun melalui reformasi menyeluruh, pendidikan karakter, dan konsistensi penegakan hukum tanpa pandang bulu, perlahan budaya korupsi mulai bisa ditekan. Jepang juga menanamkan prinsip integritas dalam sistem pendidikannya sejak dini, menjadikan kejujuran sebagai bagian tak terpisahkan dari karakter bangsa.

Dari pengalaman negara-negara lain, satu pelajaran penting bisa diambil:

Mengatasi budaya korupsi butuh waktu panjang, komitmen kolektif, dan keteladanan nyata dari para pemimpin.

Lalu, apa yang harus dilakukan Indonesia?

Pertama, pendidikan antikorupsi harus menjadi bagian penting dari kurikulum sekolah. Anak-anak perlu dikenalkan pada nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan keberanian untuk berkata benar sejak dini. Pendidikan karakter tidak bisa hanya menjadi slogan, tetapi harus menjadi praktik nyata di kelas dan di rumah. Kedua, penguatan lembaga pengawas seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus dikembalikan menjadi prioritas nasional. Tanpa lembaga independen yang kuat, pemberantasan korupsi hanya akan menjadi wacana kosong. Ketiga, masyarakat sipil harus aktif terlibat. Media, LSM, hingga individu biasa, perlu berani bersuara saat melihat penyimpangan. Budaya diam adalah ladang subur bagi korupsi. Partisipasi publik adalah benteng terakhir menjaga integritas bangsa.

Terakhir, para pemimpin baik di pemerintahan, bisnis, maupun komunitas harus menjadi contoh nyata. Tidak cukup hanya berbicara soal antikorupsi di podium; tindakan dan keputusan mereka harus mencerminkan keberpihakan pada transparansi dan keadilan. Masa depan Indonesia bergantung pada keberanian kita untuk berkata cukup, dan untuk memutus rantai warisan beracun ini. Jika budaya bisa diwariskan, maka budaya baru "budaya integritas" juga bisa dibangun. Dengan langkah kecil tapi konsisten, kita bisa menciptakan Indonesia yang bersih, adil, dan bermartabat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun